Syekh Ibrahim Asmaraqandi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel),
makamnya terletak di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten
Tuban. Syekh Ibrahim Asmaraqandi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia
Tengah, pada paruh kedua abad ke-14. Babad Tanah Jawi menyebut namanya
dengan sebutan Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro.
Sebutan itu mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan
as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi Asmaraqandi. Menurut Babad
Cerbon, Syekh Ibrahim Asmaraqandi adalah putera Syekh Karnen dan
berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik,
berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand,
melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena
negeri Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tyulen, kepulauan
kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah
Kazakhstan, tepatnya dia arah barat Laut Samarkand.
Dalam sejumlah kajian
historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmaraqandi acapkali disamakan
dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga menimbulkan kerumitan dalam
menelaah kisah hidup dan asal-usul beserta silsilah keluarganya, yang
sering berujung pada penafian keberadaan Syekh Ibrahim Asmaraqandi
sebagai tokoh sejarah. Padahal, situs makam dan gapura serta mihrab
masjid yang berada dalam lindungan dinas purbakala menunjuk lokasi dan
era yang beda dengan situs makam Maulana Malik Ibrahim.
Dalam Babad Ngampeldenta,Babad Tanah Jawi, Babad
Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon dituturkan bahwa sewaktu Syekh Ibrahim Asmaraqandi/Ibrahim
Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro
tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk
Champa. Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim
Asmoro beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha
raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas
Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan,
Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa
tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan
Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Di dalam naskah
Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmaraqandi disebut dengan nama Molana
Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam sumber
historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim
Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali
Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja
Pandhita dan Sunan Ampel.
Menurut urutan kronologi waktu,
Syekh Ibrahim Asmaraqandi diperkirakan datang ke Jawa pada sekitar tahun
1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua orang putera dan seorang
kemenakannya serta sejumlah kerabat,dengan tujuan menghadap Raja
Majapahit yang menikahi adik istrinya,yaitu Dewi Darawati. Sebelum ke
Jawa,rombongan Syekh Ibrahim Asmaraqandi singgah dulu ke Palembang
untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati Palembang,Arya Damar.
Setelah berhasil mengislamkan Adipati Palembang, Arya Damar (yang
namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan keluarganya,Syekh Ibrahim
Asmaraqandi beserta putera dan kemenakannya melanjutkan perjalanan ke
Pulau Jawa.Rombongan mendarat di sebelah timur bandar Tuban,yang
disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten
Tuban).
Pendaratan Syekh Ibrahim
Asmaraqandi di Gesik dewasa itu dapat dipahami sebagai suatu sikap
kehati-hatian seorang penyebar dakwah Islam. Mengingat Bandar Tuban saat
itu adalah bandar pelabuhan utama Majapahit. Itu sebabnya Syekh Ibrahim
Asmaraqandi beserta rombongan tinggal agak jauh di sebelah timur
pelabuhan Tuban,yaitu di Gesik untuk berdakwah menyebarkan kebenaran
Islam kepada penduduk sekitar.
Sebuah kitab tulisan tangan yang dikenal
di kalangan pesantren dengan nama Usui Nem Bis,yaitu sejilid kitab
berisi enam kitab dengan enam bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas
nama Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Itu berarti, sambil berdakwah menyiarkan
agama Islam,Syekh Ibrahim Asmaraqandi juga menyusun sebuah kitab.
Menurut cerita tutur yang
berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikisahkan tidak
lama berdakwah di Gesik.Sebelum tujuannya ke ibukota Majapahit
terwujud,Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikabarkan meninggal dunia.
Beliau
dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai. Karena dianggap penyebar Islam
pertama di Gesik dan juga ayah dari tokoh Sunan Ampel, makam Syekh
Ibrahim Asmaraqandi dikeramatkan masyarakat dan dikenal dengan sebutan
makam Sunan Gagesik atau Sunan Gesik. Dikisahkan bahwa
sepeninggal Syekh Ibrahim Asmaraqandi,putera-puteranya Ali Murtadho dan
Ali Rahmatullah beserta kemenakannya, Raden Burereh (Abu Hurairah)
beserta beberapa kerabat asal Champa lainnya, melanjutkan perjalanan ke
ibukota Majapahit untuk menemui bibi mereka Dewi Darawati yang menikah
dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota Majapahit dilakukan dengan
mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke Kutaraja Majapahit.
Sumber :
Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: TUBAN BUMI WALI: The
spirit of harmoni, Tuban: Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban, 2013,
hlm.183 – 191(mistikus-sufi.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar