SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Rabu, 19 Juni 2024

SYEKH ABDUL MALIK/ MBAH MALIK KEBUMEN


Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah. Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.


Sumber : https://barokahwali.blogspot.com/

Senin, 17 Juni 2024

SEKILAS SEJARAH PONPES API TEGALREJO MAGELANG

 Hasil gambar untuk ponpes api tegalrejo magelang

Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH. Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”DAARUSSALAM” Watucongol Muntilan Magelang. 

KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkali-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya Beliau sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guru yang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.

Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”Li i’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang berlumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan antipati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). 

Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang.


Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH. Chudlori merupakan prestasi yang lebih. Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula antipati ada yang berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan KH. Chudhori.


Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun 1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah 36 kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santri-santri termasuk KH.Chudhori mengungsi ke suatu desa yang bernama Tejo kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti.

Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali, sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di tempat semula. Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan, sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.

Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan umat. Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wat-Taalum terpaksa diambil alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch).


Peristiwa yang mengharukan ini terjadi pada penghujung tahun 1977. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila di suatu pondok pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun. Demikian juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bisa kembali meningkat sampai pada tahun 1982 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri.

Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya hingga sekarang, API hanya menerima santri putra. Meskipun usulan dan saran dari berbagai kalangan saling berdatangan, namun belum pernah terpikirkan secara serius untuk mendirikan pondok pesantren putri hingga saat itu. Hal ini dapat dimaklumi karena faktor sarana dan prasarananya kurang mendukung terutama persediaan air bersih dan tanah lokasi. Dan Baru ada Santri Putri pada tahun 2000an.

ALMARHUM (allohu yarhamhu) KH Abdurrahman Wahid. Mantan ketua Tanfidz PBNU dan Presiden RI, tercatat sebagai salah seorang alumni Ponpes tegalrejo

Adapun program pendidikan (salaf) yang diselenggarakan sejak dahulu menggunakan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai di kelas 1 sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu fikih, aqidah, akhlaq, tasawuf dan ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang semuanya dengan kitab berbahasa Arab.

Kitab-kitab yang diajarkan di bidang fikih antara lain safinatun- Najah, fathul Qarib, Minhajul Qowim, Fathul Wahhab, al- Mahalli, Fathul Mu’in, dan Uqdatul-Farid. Di bidang ushul fiqh antara lain Faraidul – Bahiyah. Di bidang tauhid antara lain ‘Aqidatul ‘Awam. Dan dibidang akhlaq / Tasawwuf antara lin kitab Ihya Ulumuddin.

Kelas satu sampai dengan tujuh di PP Tegalrejo, oleh masyarakat lebih dikenal dengan nama kitab yang dipelajari seperti :
Tingkat I dikenal Jurumiyah Jawan
Tingkat II dengan nama Jurumiyah
Tingkat III dengan nama Fathul Qarib/Shorof
Tingkat IV dengan Alfiyah
tingkat V dengan Fathul Wahab
tingkat VI dengan Al Mahalli
tingkat VII dengan Fathul Mu’in/Bukhori
Tingkat VIII dengan Ihya' Ulumuddin.

Kegiatan Ekstrakulikuler
Sejak tahun 1993, PP Tegalrejo juga aktif setiap bulan Ramadhan mengirimkan santri seniornya ke daerah-daerah yang membutuhkan dai/mubaligh. Daerah yang sering mengajukan permintaan antara lain Gunung Kidul, Wonogiri, Bojonegoro, Sragen dan Banyumas. Dilingkungan PP ini juga diselenggarakan Bahtsul masail, yakni pembahasan masalah-masalah yang sedang aktual di tengah-tengah masyarakat.
Kegiatan lainnya adalah Jam’iyatul Quro, yakni membaca Al Qur’an secara bersama-sama. Juga “Khitobah Komplek” yaitu latihan pidato guna bekal santri berdakwah di tengah-tengah masyarakat di kemudian hari saat sudah lulus.

Ada juga pengajian rutin setiap hari Senin di Masjid Jami Al Muhajirin Tegalrejo dan ini dikenal dengan nama acara Pengajian Seninan Yang di hadiri oleh ribuan orang, bukan cuma masyarakat sekitar tegalrejo saja,namun juga ada yang dari magelang dan kota-kota sekitarnya seperti ; Temanggung, Parakan, kebumen, Purworejo, jogja dan sekitarnya. Adapun Untuk Para Alumni Yang Sudah Muqim ada Pertemuan rutin yang digelar setiap 35 hari sekali, yaitu pada malam Ahad Kliwon. Acara ini juga lebih dikenal sebagai acara Selapanan /Alumninan.

Kini setelah wafatnya Almukarrom KH ABDURROHMAN CH dan juga Bapak AHMAD MUHAMMAD CH (GUS MUH), Pesantren API Dipegang oleh adik-adik, para menantu juga para putra-putri "BELIAU BERDUA".

Dan Sekarang Dibawah kepemimpinan KH MUDRIK CH DAN KH CHANIF CH, jumlah santri di Pesantren API Tegalrejo Magelang justru semakin bertambah, sehingga memaksa para Pengasuh menambah ruang lokal baru juga kamar untuk asrama santri yang kini berjumlah tidak kurang dari 5000 santri putra dan 2000 santri putri.

Semoga kedepan API TEGALREJO MAGELANG Tetap eksis dalam mencetak kader-kader militan pengayom masyarakat ketika berkecimpung di dalamnya & makin berkembang kualitas, kuantitasnya serta memberi banyak sumbangsih untuk bangsa, negara juga dinul islam yang rahmatan lil aalamin..

AAMIIN.

GUS MUH TEGALREJO DALAM KENANGAN 6/3/2009


“TEKUN TIRAKAT MERANGKUL KAUM ABANGAN”
Belum lama ini, KH Ahmad Muhammad, akrab disapa Gus Muh, salah seorang kiai pengasuh pondok pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang meninggal dunia. Kiai yang dikenal sangat dekat dengan rakyat berbagai elemen ini meninggalkan duka mendalam. Gus Muh dikenal tekun bertirakat. Sedianya, pada Sabtu (7/3) kemarin, ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo-Magelang hendak menggelar pentas seni. Melibatkan ratusan seniman petani dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh) dalam Orkestra Afalaa Tatafakkaruun bertajuk ‘Dongeng Perubahan’. Tetapi malam sebelumnya, Jumat (6/3) sekitar pukul 23.55 wib, salah seorang kiai pengasuh ponpes tersebut mendadak meninggal dunia. Pentas itu dibatalkan.


Gus Muh meninggal dunia dalam usia 67 tahun pada hari Jumat (6/3/2009) sekitar pukul 23.55 WIB di "Jogja Hospital International" Yogyakarta setelah menjalani perawatan selama tiga hari karena penyakit diabetes dan komplikasi yang dideritanya. Gus Muh yang juga adik pimpinan tertinggi Ponpes API Tegalrejo, K.H. Abdurrahman Chudlori itu meninggalkan seorang istri dan dua anak. Menurut rencana, jenazahnya akan dimakamkan di komplek makam keluarga KH Chudlori, tak jauh dari pesantren A.P.I. Nisannya bersebelahan dengan nisan sang muassis, KH. Chudlori Hari sabtu (7/3/2009) pukul 14.00 WIB. Sampai hari ini, para santri ponpes A.P.I secara bergantian, siang dan malam, mendoakan almarhum di makamnya.

Kepada posmo exclusive, Gus Yusuf (Adik almarhum Gus Muh)menyampaikan rasa kehilangannya atas kepulangan Gus Muh ke rahmatulloh. “Bagi saya, Gus Muh bukan hanya sekedar kakak. Tetapi, juga guru. Beliau banyak mengajarkan bagaimana menghadapi masyarakat kecil atau kaum abangan. Ini lebih sulit daripada mendidik sekelompok orang yang ‘sudah jadi’. Ibarat ngobori dalan peteng, mendidik orang-orang abangan atau yang belum bisa menerima sepenuhnya Islam itu lebih sulit. Kemampuan Gus Muh merangkul masyarakat abangan itu luar biasa.Telaten dan tirakatnya memang kuat. Ibarat awan disrawungi, bengi didolani”, ujar Gus Yusuf.

Sepeninggal Gus MuhGus Yusuf berharap dengan segala keterbatasan yang ada, semua ajaran almarhum bisa diuri-uri. Diakuinya, mungkin tidak bisa semaksimal dahulu. “Tetapi pada dasarnya, saya sendiri sudah dekat dengan komunitas kebudayaan. Tidak ada wasiat khusus dari Gus Muh. Kecuali, wasiat terkait keluarga. Dari sebelas bersaudara, semua saling mengisi dan semua tinggal di seputar lokasi ponpes. Untuk memenuhi undangan ceramah di luar ponpes, kalau tidak saya (Gus Yusuf-red), ya KH Abdurahman (Mbah Dur-red)”, jelas Gus Yusuf

(REPOST) MENGENANG KH ABDURROHMAN CHUDHORI PENGASUH PONPES API TEGALREJO MAGELANG (24 Januari 2011)

Ribuan orang memadati areal pemakaman keluarga untuk memberikan penghormatan terakhir kepada KH Abdurrahman Chudlori (Mbah Dur) di Tegalrejo, Magelang, Jateng, Selasa (25/1/2011). (ANTARA/Anis Efizudin)
Semarang (ANTARA News) - Hujan deras sejak sore mereda begitu malam semakin erat dipeluk gelap. Puluhan orang berdiri di atas bangku mereka, lalu menundukkan kepala, takzim dalam doa, melepas kepergian ulama kharismatis KH Abdurrahman Chudlori yang  lebih akrab dengan panggilan Mbah Dur.

Kepergian pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam, Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin, 24 Januari 2011, pukul 12.45 WIB di Rumah Sakit Lestari Raharja Magelang, telah mereka dengar dari mulut ke mulut dan sms. termasuk yang sangat terpukul dengan kepergian beliau adalah Sutanto Mendut budayawan Magelang .

Pondok pesantren di tepi Jalan Raya Magelang-Kopeng, Salatiga yang dibangun pada 1944 oleh KH Chudlori itu hingga kini mempertahankan tradisi melestarikan berbagai kekuatan budaya pedesaan dan gunung. Almarhum Mbah Dur meneruskan kepemimpinan ponpes dari ayahnya itu sejak 1977.

Baik Mbah Chudlori maupun penerusnya Mbah Dur, kata Sutanto yang selama ini menggerakkan pengembangan kesenian tradisional dan kontemporer desa dan gunung di Magelang, adalah dua ulama berpengaruh bagi kemajuan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan berbasis kekuatan budaya lokal.


"Setiap khataman, ponpes Tegalrejo menggelar pawai kesenian rakyat, dan seniman petani dari desa-desa terlibat bersama para santri. Eksplorasi seni dan budaya malam ini juga kami persembahkan untuk mengenang semangat Mbah Dur," katanya.

Di kompleks Ponpes API Tegalrejo, para pelayat terus berdatangan, arus lalu lintas utama Jalan Raya Magelang-Kopeng telah dialihkan ke jalur alternatif, sementara yang lain menata rangkaian bunga tanda duka yang datang dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerintahan baik lokal maupun nasional. Duka menyelimuti wajah mereka. Lantunan tahlil mengalun dari para santri dan pelayat malam itu, kian membangunkan duka di kompleks ponpes.

Siang harinya, Selasa,25 Januari 2011 suasana cerah muncul, meskipun mendung menggumpal di langit di atas kompleks ponpes yang memiliki sekitar lima ribu santri dari berbagai daerah di Indonesia itu.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Syaifudin, dan sejumlah kepala daerah terutama di eks-Keresidenan Kedu melayat sang kyai kharismatis itu.

Adik kandung Mbah DurKH Muhammad Yusuf Chudlori, akrab disapa Gus Yusuf, dengan raut muka berduka, berusaha tetap tegar dan berdiri di teras rumah kakaknya itu untuk menyalami para pelayat. Selama ini, Gus Yusuf yang selalu membawa panji-panji tradisi budaya dan kearifan ini intensif bergaul dengan seniman petani Komunitas Lima Gunung.

Jarum jam sudah menunjuk angka 10.30, sejumlah ulama berpengaruh dari berbagai daerah berjalan beriringan dari rumah duka ke MUSHOLA di ponpes itu, yang jaraknya hanya 100 meter. Di sinilah Mbah Dur disemayamkan. Mereka antara lain KH Idris Marzuki dari Lirboyo Kediri, KH Chalwani dari Purworejo, KH Nurul Huda Jazuli dan KH Zainuddin dari Ploso Kediri, KH Nur Iskandar dari Jakarta, KH Abdul Rozak dari Tegalrandu Magelang, dan KH Hamid Baidlowi dari Lasem Rembang. Masih ada Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah KH Muhammad Adnan dan sekretaris KH Masruri Mughni. Mbah Dur pernah menjabat syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Jenazah Mbah Dur yang terbungkus kain kafan berhiaskan rangkaian bunga berada di atas keranda terbuka berwarna hijau, disemayamkan di sisi barat atau tempat imam memimpin salat di masjid itu. Para pengiring bergiliran salat jenazah selama beberapa saat, sedangkan ratusan ribu umat berdiri di sekeliling masjid di tengah kompleks ponpes dan tepi kanan kiri jalan menuju makam keluarga Chudlori yang jauhnya 300 meter dari ponpes.

Saat sejumlah ulama besar bergantian membacakan tahlil dengan takzim untuk Mbah Dur, tetesan demi tetesan air dari langit tipis turun di tengah terik matahari. Semua pelayat mengangkat kedua tangan tanda, berdoa, begitu para ulama bergantian mendaras tahlil. Semua orang --tua, muda, laki-laki dan perempuan-- meneteskan air mata sebagai tanda duka mereka yang mendalam atas perginya sang ulama besar. Banyak yang berulangkali mengusap air mata yang tak henti membasahi pipi mereka.

Tahlil mengiring perjalanan jenazah dari masjid ponpes ke pemakanan. Gus Yusuf terlihat berjalan tak jauh dari keranda kakaknya yang diusung sejumlah orang, sedangkan anak-anak dan para cucu Mbah Dur, serta keluarga besar Chudlori, berjalan agak di depan mendahului Gus Yusuf. Gerimis berubah agak deras ketika beberapa menit kemudian jenasah memasuki kompleks makam.

Beberapa kiai sepuh turut berjalan kaki mengantarkan Mbah Dur ke peristirahatan terakhirnya, sementara hujan seakan memperkuat ketakziman prosesi pemakaman sang kiai besar tersebut. Gerimis berubah menjadi hujan cukup deras, tepat saat jenazah Mbah Dur dimasukkan ke liang lahat.

Mbah Dur mangkat dengan meninggalkan seorang istri, Nyai Nur Faizah, enam anak yakni Gus Nasrul ArifGus Akhmad IzzudinKuni Sa`adati, Nur KholidaLinatun Nafisah, dan Zaimatus Sofia, serta lima cucu.

"Hal utama yang menonjol dari beliau adalah kearifan dan kebijakanannya. Itu muncul karena beliau alim ulama besar. Ulama dengan ilmu dan wawasan luas," kata Lukman kepada ANTARA. Ia mengatakan, Mbah Dur selalu datang membawa solusi bijak untuk berbagai persoalan pelik menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di depan pelayat, KH Abdul Rozak yang mewakili keluarga, mengatakan, kurun waktu Mbah Chudlori dan Mbah Dur memimpin pengasuhan para santri di ponpes itu hampir sama, yakni 33 tahun. Mbah Chudlori 1944-1977 dan Mbah Dur 1977-2011. "Keluarga meminta bantuan doa untuk kepergian Mbah Dur, mohon maafkan segala kesalahan beliau," katanya dalam bahasa Jawa. Selama tujuh hari berturut-turut, para santri dan keluarga akan mendaraskan doa dan tahlil demi perjalanan arwah Mbah Dur ke alam keabadian.

KH Nurul Huda melukiskan Mbah Dur sebagai mutu manikam, seorang kiai enerjik, kreatif, mumpuni, dan multidimensi. "Dia lebih muda dari saya, bisa melayani kiai-kiai sepuh di mana pun, tetapi sudah dipundhut (diambil) Allah SWT. Semua tentu merasakan kehilangan yang luar biasa, tetapi kita sadar bahwa semua milik Allah, harus rela jika dipundhut," katanya.

Ia mengharapkan penerus keluarga Chudlori dan para santri melanjutkan cita-cita Mbah Dur, yang adalah guru kearifan dan kebijakan mereka. "Ambil ilmu dari tutuk (mulut) guru," katanya. Bani Chudlori pada masa mendatang, katanya, harus semakin tangguh dengan meneladani sang guru itu.

Mbah Dur, menurut KH Nurul Huda Disebut memiliki kekuatan tirakat luar biasa dengan disiplin mendidik santrinya melalui tradisi puasa setiap Senin dan Kamis, ziarah kubur para leluhur, dan rajin membaca kitab kuning. 

Sugeng tindak Mbah Dur.  Selamat Jalan Mbah Dur.
"Tegalrejo dan pondok pesantren yang dipimpin Mbah Dur, (adalah) salah satu inspirasi kuat kami selama ini dalam menjalani gerakan kebudayaan dan kemanusiaan"  
(sutanto mendut)

Minggu, 16 Juni 2024

BIOGRAFI KH. M. MUNAWWIR KRAPYAK YOGYAKARTA

 

KH. M. Munawwir Krapyak adalah salah satu ulama Nusantara ahli qur’an mendunia abad ke 20. Nama lengkap beliau adalah KH. M. Munawwir bin Kiai Abdullah Rasyad bin Kiai Hasan Bashari. Beliau lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, dari pasangan Kiai Abdullah Rasyad dengan Nyai Khadijah

Beliau dikenal sebagai ulama ahli qira’at al-Qur’an yang ternama. Sebagai pemegang sanad al-Qur’an yang sampai kepada Rasulallah Saw. keberhasilannya mencetak generasi-generasi penghafal al-Qur’an yang kemudian tersebar diseluruh penjuru Nusantara membuat namanya melambung tinggi.

KH. M. Munawwir adalah cucu Pangeran Senopati, Kiai Hasan Bashari. Ayahnya bernama Kiai Abdullah Rasyad yang memiliki 11 anak dari empat orang istri. Salah satu anak tersebut adalah KH. M. Munawwir, beliau memang telah ditakdirkan akan menjadi seorang kiai yang konsen dibidang al-Qur’an. Hal tersebut tercermin dari sebuah kisah yang menceritakan bahwa kakeknya Kiai Hasan Bashari, sebenarnya ingin sekali menghafalkan al-Qur’an. Tetapi setelah berusaha berkali-kali, keinginannya itu tidak terlaksana juga. Setelah itu, ia bermujahadah dan berdo’a kepada Allah SWT. Akhirnya ia mendapatkan ilham bahwa anak keturunannya lah yang akan menjadi seorang penghafal al-Qur’an yaitu KH. M. Munawwir.

Pendidikan KH. M. Munawwir 

Pada usia kanak-kanak, KH. M. Munawwir sudah dititipkan di sebuah Pesantren di Bangkalan yang di asuh oleh KH. Maksum. Di pesantren inilah bakat kefasihan KH. M. Munawwir didalam al-Qur’an mulai tampak. Bukan hanya KH. Maksum, ulama Nusantara lain seperti KH. Abdullah, KH. Kholil, KH. Sholeh Darat, KH. Abdu Al-Rahman itu merupakan guru dari KH. M. Munawwir.

Pada tahun 1888 M, KH. M. Munawwir melanjutkan belajar ke Mekkah al-Mukarromah. Beliau menetap selama 16 tahun untuk mempelajari al-Qur’an, tafsir, dan qira’ah sab’ah. Beliau belajar kepada Syekh Abdullah Sanqoro, Syekh Sarbani, Syekh Mukri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Mansur, Syekh ‘Abd Al-Syakur dan Syekh Musthafa. Di kota suci ini KH. M. Munawwir berhasil menghafalkan al-Qur’an 30 juz dengan qira’ah sab’ah (bacaan tujuh). Keberhasilan ini menjadikan KH. M. Munawwir tercatat sebagai ulama pertama Jawa yang berhasil menguasai qira’ah sab’ah. Untuk menjaga hafalannya, sewaktu di Mekkah KH. M. Munawwir memiliki metode tersendiri yaitu:

1. Pada tiga tahun pertama ia mengkhatamkan sekali al-Qur’an selama tujuh hari tujuh malam.

2. Tiga tahun selanjutnya ia mengkhatamkan al-Qur’an tiga hari tiga malam

3. Tiga tahun terakhir ia hanya butuh sehari semalam untuk mengkhatamkan al-Qur’an.

Semenjak itulah hafalan KH. M. Munawwir ibarat kaset yang siap sewaktu waktu untuk diputar. Karena beliau sudah merasa cukup bisa menjaga hafalannya. Ia melanjutkan kembali rihlahnya ke kota Madinah dengan mendalami ilmu tauhid, fiqih, bahasa, selama lima tahun.

Setelah lamanya bermukim di Arab Saudi kurang lebih 21 tahun (sampai 1909), KH. M. Munawwir kembali ke Indonesia tanah kelahirannya di Kauman Yogyakarta. Di Kauman ini beliau menyelenggarakan majelis pengajian al-Qur’an yang bertempat di langgar. Pengajian yang di asuh KH. M. Munawwir banyak didatangi dan diikuti masyarakat Kauman dan sekitarnya.

Semenjak mendirikan pengajian di kampung halamannya, ketokohan dan keulamaan KH. M. Munawwir mulai di kenal oleh masyarakat Yogyakarta. Semenjak itulah banyak santri yang berdatangan ke tempat pengajian KH. M. Munawwir menyebabkan tempat pengajian menjadi penuh sesak. Karenanya atas timbangan dan masukan Kiai Said yaitu Kiai pertama yang ditemui KH. M. Munawwir sekembalinya di Mekkah, Madinah, beliau berkehendak mendirikan Pesantren. 

Demikianlah pada akhir 1909 M KH. M. Munawwir merintis Pondok Pesantren yang kemudian di kenal dengan pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. Dengan pembangunan tahap awal berupa rumah kediaman dan langgar yang bersambung dengan kamar santri, serta sebagian komplek pesantren. Pada masa awal berdirinya pengembangan dan pendidikan ditangani langsung oleh KH. M. Munawwir yang di bantu para santri senior salah satunya yaitu KH. Arwani Kudus yang dipercayai membangun pemondokan dan menangani administrasi pesantren. 

Pada awal berdirinya sekitar 1909-1920 jumlah santri Krapyak kurang lebih 60 orang. Angka itu mengalami peningkatan sedikit pada 1921-1923, dimana jumlah santrinya mencapai 150 orang beberapa diantaranya yang terkenal :

1. Kiai Yusuf (Kuningan Cirebon)

2. Kiai Abdul Jamil (Cirebon)

3. Kiai Ma’shum (Gedongan Cirebon)

4. Kiai Abu Darba (Kutoarjo) 

Demikian seterusnya sampai KH. M. Munawwir wafat jumlah santri kurang lebih 200 orang yang berdatangan dari berbagai wilayah Nusantara, mulai dari Jawa sampai ke Singapura.

Meski awalnya pesantren Krapyak dirancang oleh KH. M. Munawwir untuk pengajian al-Qur’an, tetapi kitab lain juga seperti fiqih, hadist, tafsir dan lain lain dipelajari disana. Pendidikan dan pengajaran kitab kuning tersebut semakin semarak dan tumbuh besar di pesantren Krapyak, terutama ketika datangnya KH. Ali Makhsum (menantu KH. M. Munawwir). Kiai yang berjasa mengembangkan pendidikan sistem madrasah di pesantren Termas ini dipercaya oleh keluarga Krapyak untuk mengembangkan pondok pesantren Krapyak hingga wafatnya beliau (KH. Ali Makhsum)

Wafatnya Kiai H. M. Munawwir Krapyak 

KH. M. Munawwir wafat pada Jum’at, 11 jumadil Akhir, 1360 H/6 juli 1942 M. Sebelum wafat, ia memberi beberapa wirid yang diijazahkan siapa saja berupa “Do’a segala hajat”, yaitu:

> Membaca surah al-Fatihah dan ketika sampai pada ayat kelima, di ulang sebanyak 3,7,11,21, atau 41 kali sesuai dengan hitungan yang dikehendaki seraya dihayati makna dan fokus terhadap apa yang menjadi hayatnya.

> Mengkhatamkan surat Yasin sebanyak 41 kali 

Wallohu a’lamu bis showab..

alfaqir

Selasa, 11 Juni 2024

SEKILAS BIOGRAFI IMAM AL GHAZALI

 


Puluhan karya yang ditulisnya merupakan bukti kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki Al-Ghazali. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii atau lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh Muslim terkemuka sepanjang zaman.

Selasa, 04 Juni 2024

BERTEMU WALISONGO DI CANDI BOROBODUR DAN PRAMBANAN



fiqhmenjawab.net ~ Jika memakai ilmu perbandingan, bisa dibilang Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebanding dengan Masjidil Haram. Hal itulah yang membuat saya makin kagum pada Walisongo.

Maksudnya begini, kalau ada “Masjidil Haram”, berarti logikanya ada puluhan “masjid agung” kan? Kalau ada tempat ibadah Hindu-Buddha selevel “Masjidil Haram”, berarti bukan tidak mungkin Indonesia zaman dahulu sudah dipenuhi ribuan “mushola” umat Hindu-Buddha.

Orang tidak mungkin bisa membuat sesuatu berskala besar tanpa bisa membuat sesuatu yang berskala kecil-kecil dulu.

Tentu kita jadi bisa membayangkan kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu adalah golongan mayoritas. Kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu sangat mendominasi, bagaimana bisa Walisongo membalik kondisi tersebut?


Kalau Anda belajar sejarah, Anda pasti makin heran dengan Walisongo. Silakan Anda baca dengan teliti isi buku Atlas Walisongo karya sejarawan Agus Sunyoto.

Menurut catatan Dinasti Tang China, pada waktu itu (abad ke-6 M), jumlah orang Islam di nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan orang. Dengan klasifikasi yang beragama Islam hanya orang Arab, Persia, dan China. Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk agama Islam.

Bukti sejarah kedua, catatan Marco Polo singgah ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam catatannya, komposisi umat beragama di nusantara masih sama persis dengan catatan Dinasti Tang; penduduk lokal nusantara tetap tidak ada yang memeluk agama Islam.

Bukti sejarah ketiga, dalam catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 M, tetap tercatat hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jadi, kalau kita kalkulasi ketiga catatan tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima penduduk pribumi. Agama Islam hanya dipeluk oleh orang asing.

Selang beberapa tahun setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel datang dari daerah Champa (Vietnam).

Beberapa dekade sejak hari kedatangan Sunan Ampel, terutamanya setelah dua anaknya tumbuh dewasa (Sunan Bonang dan Sunan Drajat) dan beberapa muridnya juga sudah tumbuh dewasa (misalnya Sunan Giri), maka dibentuklah suatu dewan yang bernama Walisongo. Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi.

Anehnya, sekali lagi anehnya, pada dua catatan para penjelajah dari Benua Eropa yang ditulis pada tahun 1515 M dan 1522 M, disebutkan bahwa bangsa nusantara adalah sebuah bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam.

Para sejarawan dunia hingga kini masih bingung, kenapa dalam tempo tak sampai 50 tahun, Walisongo berhasil mengislamkan banyak sekali manusia nusantara.

Harap diingat zaman dahulu belum ada pesawat terbang dan telepon genggam. Jalanan kala itu pun tidak ada yang diaspal, apalagi ada motor atau mobil. Dari segi ruang maupun dari segi waktu, derajat kesukarannya luar biasa berat. Tantangan dakwah Walisongo luar biasa berat.

Para sejarawan dunia angkat tangan saat disuruh menerangkan bagaimana bisa Walisongo melakukan mission impossible: Membalikkan keadaan dalam waktu kurang dari 50 tahun, padahal sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa nusantara selalu menolak agama Islam.

Para sejarawan dunia akhirnya bersepakat bahwa cara pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah yang membuat Walisongo sukses besar.

Menurut saya pribadi, jawaban para sejarawan dunia memang betul, tapi masih kurang lengkap. Menurut saya pribadi, yang tentu masih bisa salah, pendekatan dakwah dengan kebudayaan cuma “bungkusnya”, yang benar-benar bikin beda adalah “isi” dakwah Walisongo.

***
Walisongo menyebarkan agama Islam meniru persis “bungkus” dan “isi” yang dahulu dilakukan Rasulullah SAW. Benar-benar menjiplak mutlak metode dakwahnya kanjeng nabi. Pasalnya, kondisinya hampir serupa, Walisongo kala itu ibaratnya “satu-satunya”.

Dahulu Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya orang yang berada di jalan yang benar. Istrinya sendiri, sahabat Abu Bakar r.a., sahabat Umar r.a., sahabat Utsman r.a., calon mantunya Ali r.a., dan semua orang di muka Bumi waktu itu tersesat semua. Kanjeng nabi benar-benar the only one yang tidak sesat.

Tetapi, berkat ruh dakwah yang penuh kasih sayang, banyak orang akhirnya mau mengikuti agama baru yang dibawa kanjeng nabi. Dengan dilandasi perasaan yang tulus, Nabi Muhammad SAW amat sangat sabar menerangi orang-orang yang tersesat.

Meski kepala beliau dilumuri kotoran, meski wajah beliau diludahi, bahkan berkali-kali hendak dibunuh, kanjeng nabi selalu tersenyum memaafkan. Walisongo pun mencontoh akhlak kanjeng nabi sama persis. Walisongo berdakwah dengan penuh kasih sayang.

Pernah suatu hari ada penduduk desa bertanya hukumnya menaruh sesajen di suatu sudut rumah. Tanpa terkesan menggurui dan menunjukkan kesalahan, sunan tersebut berkata, “Boleh, malah sebaiknya jumlahnya 20 piring, tapi dimakan bersama para tetangga terdekat ya.”

Pernah juga ada murid salah satu anggota Walisongo yang ragu pada konsep tauhid bertanya, “Tuhan kok jumlahnya satu? Apa nanti tidak kerepotan dan ada yang terlewat tidak diurus?”

Sunan yang ditanyai hal tersebut hanya tersenyum sejuk mendengarnya. Justru beliau minta ditemani murid tersebut menonton pagelaran wayang kulit.

Singkat cerita, sunan tersebut berkata pada muridnya, “Bagus ya cerita wayangnya…” Si murid pun menjawab penuh semangat tentang keseruan lakon wayang malam itu. “Oh iya, bagaimana menurutmu kalau dalangnya ada dua atau empat orang?” tanya sunan tersebut. Si murid langsung menjawab, “Justru lakon wayangnya bisa bubar. Dalang satu ambil wayang ini, dalang lain ambil wayang yang lain, bisa-bisa tabrakan.”

Sang guru hanya tersenyum dan mengangguk-angguk mendengar jawaban polos tersebut. Seketika itu pula si murid beristighfar dan mengaku sudah paham konsep tauhid. Begitulah “isi” dakwah Walisongo; menjaga perasaan orang lain.

Pernah suatu hari ada salah satu anggota lain dari Walisongo mengumpulkan masyarakat. Sunan tersebut dengan sangat bijaksana menghimbau para muridnya untuk tidak menyembelih hewan sapi saat Idul Adha. Walaupun syariat Islam jelas menghalalkan, menjaga perasaan orang lain lebih diutamakan.

Di atas ilmu fikih, masih ada ilmu ushul fikih, dan di atasnya lagi masih ada ilmu tasawuf. Maksudnya, menghargai perasaan orang lain lebih diutamakan, daripada sekadar halal-haram. Kebaikan lebih utama daripada kebenaran.

Dengan bercanda, beliau berkomentar bahwa daging kerbau dan sapi sama saja, makan daging kerbau saja juga enak. Tidak perlu cari gara-gara dan cari benarnya sendiri, jika ada barang halal lain tapi lebih kecil mudharatnya.

Kemudian, ketika berbicara di depan khalayak umum, beliau menyampaikan bahwa agama Islam juga memuliakan hewan sapi. Sunan tersebut kemudian memberikan bukti bahwa kitab suci umat Islam ada yang namanya Surat Al-Baqarah (Sapi Betina).

Dengan nuansa kekeluargaan, sunan tersebut memetikkan beberapa ilmu hikmah dari surat tersebut, untuk dijadikan pegangan hidup siapapun yang mendengarnya.

Perlu diketahui, prilaku Walisongo seperti Nabi Muhammad SAW zaman dahulu, Walisongo tidak hanya menjadi guru orang-orang yang beragama Islam. Walisongo berakhlak baik pada siapa saja dan apapun agamanya.

Justru karena kelembutan dakwah sunan tersebut, masyarakat yang saat itu belum masuk Islam, justru gotong-royong membantu para murid beliau melaksanakan ibadah qurban.

***

Kalau Anda sekalian amati, betapa gaya berdakwah para anggota Walisongo sangat mirip gaya dakwah kanjeng nabi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana bisa? Hal tersebut bisa terjadi karena ada manual book cara berdakwah, yaitu Surat An-Nahl ayat ke-125.

Ud’u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wa Huwa a’alamu bilmuhtadiin. Terjemahannya kira-kira; Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk.

Menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, tafsir ayat dakwah tersebut adalah seperti berikut: Potongan kalimat awal, ud’u ilaa sabiili Rabbika, yang terjemahannya adalah “Ajaklah ke jalan Tuhanmu”, tidak memiliki objek. Hal tersebut karena Gusti Allah berfirman menggunakan pola kalimat sastra.

Siapa yang diajak? Tentunya orang-orang yang belum di jalan Tuhan. Misalnya, ajaklah ke Jakarta, ya berarti yang diajak adalah orang-orang yang belum di Jakarta.

Dakwah artinya adalah “mengajak”, bukan perintah. Jadi cara berdakwah yang betul adalah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Apabila harus berdebat, pendakwah harus menggunakan cara membantah yang lebih baik. Sifat “lebih baik” di sini bisa diartikan lebih sopan, lebih lembut, dan dengan kasih sayang. Sekali lagi, apabila harus berdebat, harap diperhatikan.

Para pendakwah justru seharusnya menghindari perdebatan. Bukannya tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba ada ustadz yang mengajak debat para pendeta, biksu, orang atheis, dan sebagainya.

Berdakwah tidak boleh berlandaskan hawa nafsu. Harus ditikari ilmu, diselimuti rasa kasih sayang, dan berangkat niat yang tulus.

Apalagi ayat dakwah ditutup dengan kalimat penegasan bahwa hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran sejati. Hanya Allah SWT yang tahu hambaNya yang masih tersesat dan hambaNya yang sudah mendapat petunjuk.

Firman dari Allah SWT tersebut sudah merupakan warning untuk para pendakwah jangan pernah merasa sudah suci, apalagi menganggap objek dakwah sebagai orang-orang yang tersesat. Anggaplah objek dakwah sebagai sesama manusia yang sama-sama berusaha menuju jalanNya.

Ayat dakwah itulah yang dipegang Nabi Muhammad SAW dan para pewarisnya saat berdakwah. Maka dari itu, kita jangan kagetan seperti para sejarawan dunia, karena kesuksesan dakwah Walisongo sebenarnya bukanlah hal yang aneh.

***

Kanjeng nabi saja bisa mengubah Jazirah Arab hanya dalam waktu 23 tahun, apalagi Walisongo yang “hanya” ditugaskan Allah SWT untuk mengislamkan sebuah bangsa.

Dakwah bisa sukses pada dasarnya dikarenakan dua faktor saja. Pertama, karena niat yang tulus. Walisongo menyayangi bangsa Indonesia, maka dari itu bangsa nusantara dirayu-rayu dengan penuh kelembutan untuk mau masuk agama Islam. Bila ada kalangan yang menolak, tetap sangat disayangi.

Sekalipun orang tersebut enggan masuk agama Islam, tapi bila ada yang sedang sakit, ia tetap dijenguk dan dicarikan obat. Kalau orang tersebut sedang membangun rumah, maka Walisongo mengerahkan para santrinya untuk menyumbang tenaga. Bahkan, kepada pihak-pihak yang tidak hanya menolak agama Islam, tapi juga mencela sekalipun, Walisongo tetap bersikap ramah.

Kedua, karena “satu kata satu perbuatan”. Walisongo membawa ajaran agama Islam ke nusantara, tentu kesembilan alim ulama tersebut harus menjadi pihak pertama yang mempraktekkan.

Agama Islam adalah agama anugerah untuk umat manusia, maka para wali tersebut selalu berusaha praktek menjadi anugerah bagi umat manusia di sekitarnya.

Semuanya dimanusiakan, karena Walisongo mempraktekkan inti ajaran agama Islam; rahmatan lil ‘alamin. Islam tidak mengenal konsep rahmatan lil muslimin.

Begitulah… Jadi, saya sangat senang kalau bisa berwisata ke Candi Prambanan atau Candi Borobudur, karena di kedua tempat tersebut saya jadi bisa bertemu Walisongo. Pertemuan secara batin.

Note:
– Tulisan ini bukan untuk menjawab orang-orang yang sering meremehkan Walisongo.
– Tulisan ini hanyalah tulisan rindu seseorang yang penuh dosa.
– Di tengah ketidakberdayaan menatap gaya dakwah yang terlalu mudah memvonis orang lain masuk neraka, saya seringkali jadi merindukan Walisongo.

Tulisan asli milik Doni Febriando via atlaswalisongo.com

Dari buku “Kembali Menjadi Manusia” yang bisa didapatkan di jaringan toko buku GRAMEDIA atau TOGAMAS.

SEJARAH HABAIB [BANI ALAWIYIN] DI BUMI NUSANTARA

Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama, al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah).[1] Karena golongan yang pertama sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya mengkaji golongan yang kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani Ismail. Bani Ismail as adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi Ibrahim as yang mula-mula berdiam di kota Ur yang merupakan kota di Babylonia. Nabi Ibrahim as meninggalkan kota Ur dan berpindah ke Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as mempunyai anak dari Siti Hajar yang bernama Ismail as, mereka pindah ke Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.


Nabi Ismail as mempunyai putera sebanyak dua belas orang, masing-masing mempunyai keturunan. Tetapi kemudian keturunan mereka terputus, hanya keturunan Adnan-lah yang berkembang biak, sebab itu bani Ismail ini dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani Qahthan menurunkan suku Tajib dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari Mesopotamia dan kemudian pindah ke negeri Yaman. Penduduk asli Yaman adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka diutus Nabi Hud as. Mereka dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan angin yang amat keras. Kaum ‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad pertama, sedangkan kaum ‘Ad yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut kaum ‘Ad kedua.

Sesudah Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu kota yang paling masyhur di tanah Hijaz, dan berdatanganlah orang dari segenap penjuru jazirah Arab ke Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.

Pertama kali kota Mekkah dipegang oleh bani Adnan, karena itu bani Adnanlah yang memelihara dan menjaga Ka’bah. Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah, maka berpindahlah satu suku yang bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah dan mereka merampas kota Mekkah dari tangan bani Adnan. Dengan demikian berpindahlah penjagaan Baitullah dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.

Di kemudian hari, dari suku Quraisy terdapat seorang pemimpin yang kuat dan cerdas, namanya Qushai. Qushai ini beruntung dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian mengusir bani Khuza’ah itu dari Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan di Mekkah ke tangan bani Adnan. Kemudian Qushai diangkat menjadi raja yang di tangannya terhimpun kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah Qushai meninggal kekuasaan tersebut dipegang oleh keturunannya yang bernama Abdi Manaf.

Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.[2] Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim. “.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).

Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka”. (HR. at-Turmudzy).

Dari keturunan inilah Allah swt telah menerbitkan cahaya cemerlang, menerangi semesta alam, dikarenakan agama Islam yang dibawa keturunan Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang berasal dari keturunan Qahthan. Diantara keturunan Adnan yang berada di Hadramaut adalah kaum Alawiyin, sebelumnya mereka menetap di Basrah, Iraq.

Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir.[3] Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.

Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan : Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.

Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.[4]

Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.

Maka masuklah Imam al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan madzhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.[5]

Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut.

Dan diantara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan al-Imam al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah: pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua, al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-MusajjarKetiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat, al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.

Dan terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah al-Imam al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib. Selain mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab, Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat tentang keberadaan mereka.

Di antara peneliti tersebut ialah al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.[6]

Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda : “Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka”.[7]

Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan: “Kaum Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya”.[8]

Ahmad bin Isa wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.

Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.

Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo[9]. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.

Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab[10] telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.

Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali.

Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.

Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.

[1] Jilid 1, hal. 25

[2] Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi. Jamharoh Ansab al-Arab, hal. 14.

[3] Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada al-Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadramaut, hanya al-Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul.

[4] Idrus Alwi Al-Masyhur, Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi, hal. 15.

[5] Muhammad Hasan Alaydrus, Penyebaran Islam di AsiaTenggara, hal 22.

[6] Abubakar Al-Adeni Bin Ali Al-Masyhur, Al-Abniyah al-Fikriyah, hal. 25.

[7] Jalaluddin Al-Suyuthi, Ihya al-Mait Fi Fadhail Ahlu al-Bait, hal. 42.

[8] Idrus Alwi Al-Masyhur, op cit, Hal. 15.

[9] Muhammad Hasan Alaydrus, op cit, hal. 35.

[10] Beliau adalah salah satu pendiri Rabithah Alawiyah dan menjadi ketua yang pertama.

Oleh: benmashoor