SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Rabu, 30 Maret 2016

BEDANYA ORANG ALIM DAN ORANG BODOH

Tidurnya orang Alim Lebih Besar Pahalanya Dari Ibadahnya Orang Bodoh

Mengapa Tidurnya orang Alim Lebih Besar Pahalanya Dari Ibadahnya Orang Bodoh
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar:
Mari membiasakan dzikir lisan dan qolbu setiap saat. Hidupkan qolbu dengan mengingat dan merasakan kehadiran Allah dalam diri. Mari mengenali jati diri kita saat tidur ataupun terjaga.



“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.” (QS. Az-Zumar [39]: 42)

Rasulullah SAW bersabda, “Tidurnya orang Alim lebih besar pahalanya dari ibadahnya orang bodoh.” (HR. Ath-Thabarasi di Makârim Al-Akhlâq).

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, hal ini berlaku bagi orang yang qolbunya hidup dengan menyebut asma-asma tauhid, dengan lisan sirri tanpa huruf dan suara. Allah SWT berfirman dalam Hadist Qudsi, “Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasia manusia.”

Jadi, manusia yang mampu melihat sifat-sifat Allah SWT pada segala sesuatu yang ada dan terjadi di muka bumi ini, pasti akan melihat Dzat Allah di akhirat (Alam Lauhut) tanpa perantara. Melihat sifat-sifat Allah inilah yang sering diakui oleh para wali.

Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya dari Tuhanku.”
Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”

dan barang siapa yang mengenali dirinya maka dia akan mengenali Tuhannya.

 وَ الـلَّــــهُ اَعْــلَـــمْ بِالصَّــــوَاب

8 NASEHAT IMAM ALGHOZALI DALAM BERINTERAKSI SOSIAL

Hasil gambar untuk imam al ghazaliManusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Artinya manusia mempunyai kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkominikasi dan berinteraksi dengan manusia lain. dan selanjutnya interaksi ini berbentuk kelompok atau perkumpulan.
Agar pergaulan sosial manusia tidak terjerumus dalam hal-hal yang kurang bermanfaat yang cenderung mengotori hati, berikut adalah nasehat Imam Alghozali.
Siapa saja yang sering duduk bersama 8 orang kelompok manusia, Allah SWT akan memberinya  perkara:

من جلس مع الأغنياء زاده الله حب الدنيا والرغبة فيها 
                       
1,Barangsiapa yang duduk bersama orang-orang kaya, Allah akan menambahkan cinta kepada dunia & semangat untuk mendapatkan dunia. 


ومن جلس مع الفقراء زاده الله الشكر والرضا بقسمة الله تعالى

2. Barangsiapa yang duduk bersama orang-orang miskin, Allah akan menambahkan perasaan syukur & ridha atas pemberian Allah. 


ومن جلس مع السلطان زاده الله الكبر وقساوة القلب

3. Barangsiapa yang duduk dengan para pemimpin/raja, Allah akan menambahkan perasaan sombong & kerasnya hati. 


ومن جلس مع النساء زاده الله الجهل والشهوه

4. Barangsiapa yang duduk dengan perempuan, Allah akan menambahkan kebodohan & syahwat. 


ومن جلس مع الصبيان زاده اللهو والمزاح

5. Barangsiapa yang duduk dengan anak-anak kecil, Allah akan menambahkan lalai & senda gurau. 


ومن جلس مع الفساق زاده الله الجرأة على الذنوب والمعاصي والإقدام عليها،والتسويف في التوبة

6. Barangsiapa yang duduk dengan orang-orang fasik, Allah akan menambahkan berani berbuat dosa & kemaksiatan serta mendorongkan diri untuk berbuat maksiat kemudian menunda-nunda akan taubat. 


ومن جلس مع الصالحين زاده الله الرغبة في الطاعات

7. Barangsiapa yang duduk dengan orang-orang soleh, Allah akan menambahkan perasaan cinta kepada amalan-amalan ketaatan. 


ومن جلس مع العلماء زاده العلم والورع

8. Barangsiapa yang duduk dengan para ulama’, Allah akan menambahkan ilmu & perasaan tidak cintakan dunia. 


( Imam Al Ghazali)

ULAMA PEWARIS PARA NABI



Hadist ini janganlah di lupakan, Lebih-lebih mau di buang...
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ “Abu Ad Darda berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”
Hadits ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 3641
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2682
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 223
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 21715
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 88
- Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 815
- Imam Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 1231
- Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 342
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1696
Semuanya dari Abu Ad Darda Radhiallahu ‘Anhu

Hadits ini dishahihkan oleh:
- Imam Ibnu Hibban, beliau memasukkannya dalam kita Shahihnya.
- Imam Ibnul Mulqin, dia mengatakan: hadits ini shahih. (Badrul Munir, 7/587)
- Imam Ibnul Jauzi berkata: hadits ini (Ulama adalah pewaris para nabi) diriwayatkan dengan berbagai sanad yang baik. (Ibid, 7/589)

- Syaikh Al Albani di dalam berbagai kitabnya. (Shahihul Jami’ No. 6297, Misykah Al Mashabih No. 212, katanya: hasan. Shahih At Targhib Wat Tarhib No. 70, katanya: hasan lighairih, dll)

Dan didhaifkan oleh: - Imam Ad Daruquthni mendhaifkannya, disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar:
حَدِيثُ “الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ” أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حبان عن حَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَضَعَّفَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي الْعِلَلِ وَهُوَ مُضْطَرِبُ الْإِسْنَادِ قَالَهُ الْمُنْذِرِيُّ
Hadits “ulama adalah pewaris para nabi” diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dari Abu Ad Darda. Didhaifkan oleh Ad Daruquthni dalam Al ‘Ilal, hadits ini isnadnya mudhtharib (guncang), ini dikatakan oleh Al Mundziri. (At Talkhish Al Habir, 3/357). - Syaikh Husein Salim Asad, dia juga mengatakan isnadnya dhaif. (As Sunan Ad Darimi No. 432, Cet. 1. 1407H. Darul Kitab Al ‘Arabi)... Tetapi, yang lebih kuat adalah bahwa hadits ini tidaklah dhaif karena banyaknya jalan yang saling menguatkan satu sama lain. Berikut keterangan para muhadditsin: - Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
رواه الحاكم مصححا من حديث أبى الدرداء و حسنه حمزة الكنانى و ضعفه عندهم باضطراب فى سنده ، لكن له شاهد يتقوى بها
Diriwayatkan oleh Al Hakim secara shahih, dari hadits Abu Ad Darda, dan dihasankan oleh Hamzah Al Kinani dan ada yang mendhaifkannya bagi mereka hadits ini idhthirab (guncang) dalam sanadnya, tetapi hadits ini memiliki banyak syahid (saksi yang menguatkannya). (Fathul Bari, 1/160)
- Imam Muhammad Thahir bin Ali Al Fatani Rahimahullah berkata:


”العلماء ورثة الأنبياء ” صححه جماعة وضعفه آخرون بالاضطراب في سنده لكن له
شواهد قال شيخنا له طرق يعرف بها إن للحديث أصلا
“Ulama adalah pewaris para nabi” , dishahihkan oleh jamaah ahli hadits, dan didhaifkan oleh yang lainnya dengan menyebutkan adanya idhthirab pada sanadnya, tetapi hadits ini memiliki syawaahid (saksi penguat). Syaikh kami mengatakan bahwa hadits ini memiliki banyak jalan yang dengannya bisa diketahui bahwa hadits ini memiliki dasar. (Tadzkiratul Maudhu’at, Hal. 20) - Hal senada juga dikatakan oleh Imam As Sakhawi Rahimahullah (Al Maqashid Al Hasanah, 1/459), juga Imam Al ‘Ajluni. (Kasyful Khafa, 2/64)

Bila mana anda penganut sunnah nabi seharusnyalah anda gunakan semua hadist, dan tidak membuang hadist yang tidak mendukung kita. wallohu 'alam © Post Original & Official®
█║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

JIHAD

Semua hal yang bagus dalam urusan agama adalah bentuk sebuah jihad, baik itu menyampaikan sebuah Ilmu maupun mempelajari Ilmu, juga mempebagus sebuah hubungan dengan orang tua. Oleh karena itu berbaktilah engkau kepada orang tua dan janganlah engkau membantah lebih-lebih menyakitkan orang tua. Sebab memulyakan Orang tua adalah bentuk jihad, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah : حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبٍ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ الْقَطَّانَ عَنْ سُفْيَانَ وَشُعْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا حَبِيبٌ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْذِنُهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ حَبِيبٍ سَمِعْتُ أَبَا الْعَبَّاسِ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِهِ قَالَ مُسْلِم أَبُو الْعَبَّاسِ اسْمُهُ السَّائِبُ بْنُ فَرُّوخَ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ بِشْرٍ عَنْ مِسْعَرٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ كِلَاهُمَا عَنْ الْأَعْمَشِ جَمِيعًا عَنْ حَبِيبٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ Dari Abu Al 'Abbas dari 'Abdullah bin 'Amru dia berkata : Seseorang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam minta izin hendak ikut jihad (berperang). Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya : Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Jawab orang itu; Masih! Sabda beliau: Berbakti kepada keduanya adalah jihad.[ HR.muslim No : 4623].

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ أَنَّ نَاعِمًا مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنْ اللَّهِ قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلَاهُمَا قَالَ فَتَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنْ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا Dari Yazid bin Abu Habib bahwa Na'im -budak- Ummu Salamah menceritakan kepadannya, 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia berkata: Aku bai'at (berjanji setia) dengan Anda akan ikut hijrah dan jihad, karena aku mengingini pahala dari Allah. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Jawab orang itu; Bahkan keduanya masih hidup. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya lagi: Apakah kamu mengharapkan pahala dari Allah? Jawabnya; Ya! Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu, lalu berbaktilah pada keduanya dengan sebaik-baiknya.[ HR.muslim No : 4624].

Apalah artinya sebuah tujuan yang mengatasnamakan diri di jalan Allah Azza wajalla, dengan membela di jalan Allah namun di belakang masih terdapat sebuah kegaduhan dengan keluarga, tidak menghiraukan keluarga, dan tidak mau tahu dengan keadaan orang tua di belakang (dirumah), maka semuanya akan sia-sia dan bahkan tindakan seperti itu akan menjadi benalu bagi dirinya sendiri, seperti yang telah terjadi pada masa Rasulullah

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ حَدَّثَنِي سُهَيْلٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُهُ ثَلَاثًا ثُمَّ ذَكَرَ مِثْلَهُ Dari Abu Hurairah dia berkata ; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka! lalu beliau ditanya; Siapakah yang celaka, ya Rasulullah? Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: Barang Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya dengan sebaik-baiknya). Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad dari Sulaiman bin Bilal; Telah menceritakan kepadaku Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Dia celaka, ' sebanyak tiga kali kemudian disebutkan Hadits yang serupa.[ HR.muslim No : 4628].

Orang Tua Lebih Utama

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفٍ الثَّقَفِيُّ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ وَفِي حَدِيثِ قُتَيْبَةَ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِي وَلَمْ يَذْكُرْ النَّاسَ Dari Abu Hurairah berkata; Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia bertanya, Siapakah orang yang paling berhak dengan bakti ku? Jawab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Ibumu! dia bertanya lagi; Kemudian siapa? beliau menjawab: Ibumu! dia bertanya lagi; Kemudian siapa? beliau menjawab: Kemudian Ibumu! dia bertanya lagi; Kemudian siapa? dijawab: Kemudian bapakmu! [HR.muslim No : 4621].

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ عُمَارَةَ وَابْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ وَزَادَ فَقَالَ نَعَمْ وَأَبِيكَ لَتُنَبَّأَنَّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ ح و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ شُبْرُمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي حَدِيثِ وُهَيْبٍ مَنْ أَبَرُّ وَفِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ أَيُّ النَّاسِ أَحَقُّ مِنِّي بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ Dari Abu Hurairah seorang laki-laki seraya berkata; 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak dengan bakti-ku? Beliau menjawab: 'Ibumu, lalu Ibumu, lalu Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian orang yang terdekat denganmu dan seterusnya. [HR.muslim No : 4622]. 
Terdapat keputusan Allah SWT yang digantungkan kepada orang tua, sebaik apapun niat kita apabila tidak menghiraukan orang tua maka Allah pun akan menjadikan cobaan padanya.

Antara kebaikan Dan Dosa

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ Dari An Nawwas bin Mis'an Al Anshari dia berkata; "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang arti kebajikan dan dosa. Sabda beliau: "Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa ialah perbuatan atau tindakan yang menyesakkan dada, dan engkau sendiri benci jika perbuatanmu itu diketahui orang lain."[ HR.muslim No : 4632]. Adapun petunjuk yang kita dapati telah jelas sebagaimana yang telah di sampaikan oleh Rasulullah bahwa antara kebaikan dan kejelekan (dosa) memang telah berbeda. Kebaikan itu adalah bukan dari sudut pandang kita sendiri, namun sebagaimana kita memang hidup di tengah-tengah orang banyak maka kebaikan itu tentu saja ada ikatan dari sisi sosialisasi. Pandangan mereka juga akan menjadi tolak ukur kebaikan yang kita lakukan, tentu kebaikan itu yang tidak terlepas dari garis-garis syari’at. Adapun tindakan yang berdosa kata kata beliau (Nabi SAW) adalah perbuatan yang menyesakkan dada. Yakni membuat ketidak tenangan bagi orang lain, tidak nyaman dan menciptakan suasana mencekam, hal ini adalah sebuah dosa yang nyata. Karena Allah sendiri telah memerintahkan kita untuk berbelas kasih sesama Umat Islam tidak saling menuding ataupun memerangi hanya karena berbeda pendapat, Rasulullah bersabda :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا حَاتِمٌ وَهُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ ابْنُ أَبِي مُزَرِّدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ حَدَّثَنِي عَمِّي أَبُو الْحُبَابِ سَعِيدُ بْنُ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا }

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Setelah Allah Azza wa Jalla menciptakan semua makhluk, maka rahim pun berdiri sambil berkata; 'Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahim (Menyambung silaturahim).' Allah Subhanahu wa Ta'ala menjawab: 'Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu? ' Rahim menjawab; 'Tentu.' Allah berfirman: 'ltulah yang kamu miliki.' Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini: Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad 22-24).[ HR.muslim No : 4634].

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي مُزَرِّدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan lafazh ini milik Abu Bakr. Dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Mu'awiyah bin Muzarrid dari Yazid bin Ruman dari 'Urwah dari 'Aisyah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Rahim (kasih sayang) itu tergantung di 'Arasy, seraya berkata; Siapa menyambungkanku, maka Allah pun akan menyambungkannya. Dan barangsiapa yang memutuskanku, niscaya Allah pun akan memutuskannya pula.[ HR.muslim No : 4635].
Kesimpulan
Terdapat banyak cara untuk melakukan Jihad, berperang membela agama Allah SWT, namun dengan cara yang tidak tepat. Apa yang membuat tidak tepat? Setidaknya terdapat sebuah kesalahan teknis dalam menerapkan Jihad.  Berani angkat senjata, berani berperang namun menentang yang di tetapkan Allah SWT. Firman Allah :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡڪِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ۬ وَلَا تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً۬ ڪَرِيمً۬ا “Dan Tuhanmu telah perintahkan, supaya engkau tidak menyembah melainkan kepadanya semata-mata dan hendaklah engkau berbuat baik kepada ibu bapa. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sekali, sampai kepada umur tua dalam jaga’an dan pelihara’anmu, maka janganlah engkau berkata kepada mereka (sembarang perkataan kasar) sekalipun perkataan “Uf...” dan janganlah engkau meninggikan suara kepada keduanya, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang mulia (yang bersopan santun).“. (QS. Al Isra’: 23).

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَٲلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُ ۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ۬ وَفِصَـٰلُهُ ۥ فِى عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡڪُرۡ لِى وَلِوَٲلِدَيۡكَ إِلَىَّ ٱلۡمَصِيرُ “Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapak-nya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusunya) dan tempo memisahkan susunya ialah dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepadaku (Allah)dan kepada kedua ibu bapak mu ; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan).” (QS. Luqman : 14).

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا “Dan hendaklah kamu beribadah kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapak“. (QS. An Nisa’ : 36).

Berkata Ibnu Abbas : “Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah SWT. : “bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua ibu bapakmu“, Berkata beliau. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua ibu dan bapanya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.”[Al Kabaair Li Adz Dzahabi hal 40]. Bahwa berbakti kepada kedua orang tua ialah amal yang paling utama dan itu bentuk dari sebuah juhad. Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari sahabat Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. “Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal-amal yang paling utama dan dicintai Allah? Nabi SAW menjawab, Pertama shalat tepat waktu (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah” [Hadits Riwayat Bukhari I/134, Muslim No.85, Fathul Baari 2/9].

Wallahu A’lam. © Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

AQIDAH IMAM SYAFI'I

Lebih fokus terhadap Aqidah imam syafi’i. Bagaimana pemahaman beliau tentang sifat-sifat Allah SWT? Atau bagaimana ketauhidan imam syafi’i? Apakah beliau imam Syafi’i membagi tauhid menjadi tiga bagian? Dan apakah imam Syafi’i menetapkan Allah SWT diatas Arsy-nya?. Mari kita membahas secara perlahan masalah pemahaman Imam Syafi’i rohimahullah. Mari kita berangkat dari riwayat hadist berikut : حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِيْ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ شَدَّادٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ مُحْرِزٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَقَلْتُ نَاقَتِيْ بِالْبَابِ، فَأَتَاهُ نَاسٌ مِنْ بَنِيْ تَمِيْمٍ فَقَالَ ‏: اقْبَلُوْا الْبُشْرَى يَا بَنِيْ تَمِيْمٍ‏‏.‏ قَالُوْا : قَدْ بَشَّرْتَنَا فَأَعْطِنَا مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ دَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اقْبَلُوْا الْبُشْرَى يَا أَهْلَ الْيَمَنِ، إِذْ لَمْ يَقْبَلْهَا بَنُوْ تَمِيْمٍ‏‏.‏ قَالُوْا : قَدْ قَبِلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالُوْا : جِئْنَاكَ نَسْأَلُكَ عَنْ هَذَا الأَمْرِ، قَالَ : كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىْءٌ غَيْرُهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ، وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ كُلَّ شَىْءٍ، وَخَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ‏‏،‏ فَنَادَى مُنَادٍ : ذَهَبَتْ نَاقَتُكَ يَا ابْنَ الْحُصَيْنِ‏.‏ فَانْطَلَقْتُ فَإِذَا هِيَ يَقْطَعُ دُوْنَهَا السَّرَابُ، فَوَاللهِ لَوَدِدْتُ أَنِّيْ كُنْتُ تَرَكْتُهَا‏.‏ “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan (Azaly), tidak suatu apapun pada azal selain Dia. Dan adalah arsy-Nya berada di atas air. Kemudian Dia menuliskan di atas adz-Dzikr (al-Lauh al-mahfuzh) segala sesuatu, lalu Dia menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi”. [HR. Al-Bukhari, Al-Muslim, Al-Bayhaqi, Al-Imam Ibn al-Jarud dan lainnya]

Ada penjelasan yang sangat penting terkait dengan hadits ini, sebagai berikut : Kualitas hadits ini Shahih diriwayatkan oleh banyak ahli hadits. Cukup bagi kita tentang ke-shahih-annya bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Mulim dalam kedua kitab Shahih-nya. Bahkan al-Bukhari mengutip hadits ini dari berbagai jalur sanad dari al-A’masy, yang tentunya seluruh jalur sanad tersebut adalah shahih. Al-Imam al-Bukhari sendiri meletakan hadits ini dalam kitab Shahih-nya pada urutan pertama dalam sub judul “Bab tentang kedatangan kaum Asy’ariyyah dan para penduduk Yaman”. Hadits diatas ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu adalah makhluk Allah. Sebelum Allah menciptakan makhluk-makhluk tersebut tidak ada apapun selain-Nya. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada kursi, tidak ada arsy, tidak ada waktu, tidak ada tempat, dan tidak ada apapun, bahwa yang ada hanya Allah saja. Artinya, bahwa hanya Allah yang tidak memiliki permulaan (Azalyy). Dengan demikian hadits ini merupakan bantahan atas kaum filsafat yang mengatakan bahwa alam ini tidak bermula (Qadim). Dan Hadits ini sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena tempat dan arah adalah makhluk Allah. Sebelum menciptakan tempat dan arah Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka demikian pula setelah menciptakan tempat dan arah Allah tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah tidak membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri. Al Imam Al Syafi'i Rahimahullah, beliau berkata: قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه : آمنت بالله وبما جاء عن الله ، على مراد الله ، وآمنت برسول الله ، وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله Aku beriman kepada Allah dan kepada segala yang telah di khabarkan-Nya dengan menyerahkan maksudnya kepada-Nya. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada segala  yang telah diberitakan-nya dengan menyerahkan maksudnya kepada-nya. (menyerahkan ma’na ayat mutasyabihat kepadanya). Berdasarkan uraian dalam kitab beliau menjelaskan tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), 
Imam asy-Syafi’i berkata : إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13) “Ini termasuk ayat mutasyabihat. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki keahlian di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak mempunyai keahlian dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang ini dan semua orang Islam adalah meyakini saja bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah. Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar].
Imam asy-Syafi’i berkata : واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13) “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” [al-Fiqh al-Akbar, h. 13]. إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24) “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 24). 
Oleh karena itu Al-Imam as-Syafi’i mempertegas sebagai berikut : فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِه...َا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ. “Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mengimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga untuk seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat dari kehancuran dan kesesatan” [al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 13]

Wallahu A’lam. © Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

DIMANAKAH SEBENARNYA ALLOH SWT BERADA


 
ال الإمام البيهقي في كتابه الأسماء والصفات
" استدل أصحابنا في نفي المكان عنهُ _أي عن الله _ بقوله صلى الله عليه وسلم " أنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء ". ثم قال رضي الله عنه : وإذا لم يكن فوقهُ شيء ولا دونهُ شيء لم يكن في مكان

Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan : "Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat". Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut: "Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta'ala ". An-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir.

Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya Al-Washiyyah berkata yang maknanya : "Bahwa penduduk surga melihat Allah ta'ala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi) tanpa (Allah) disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa (Allah) berada di suatu arah"
الدليل على تنزيه الله عن المكان والجهة من الإجماع
إعلم أنّ المسلمين اتفقوا على أن الله تعالى لا يحلُّ في مكان ولا يحويه مكان ولا يسكن السماء ولا يسكن العرش ، لأنّ الله تعالى موجود قبل العرش وقبل السماء وقبل المكان ، ويستحيل على الله التغيّر من حال إلى حال ومن صفة إلى صفة ، فهو تبارك وتعالى كان موجودًا في الأزل بلا مكان ، وبعد أن خلق المكان لا يزال موجودًا بلا مكان . وما سنذكره في هذا الكتاب بمشيئة الله تعالى وعونه وتوفيقه من أقوال في تنزيه الله عن المكان لأعلام ظهروا على مدى أربعة عشر قرنًا من الزمن منذ الصدر الأول أي منذ عهد الصحابة إلى يومنا هذا يُعتَبَر من أقوى الأدلة على رسوخ هذه العقيدة وثبوتها في نفوس المسلمين سلفًا وخلفًا .
ليُعلم أنّ أهل الحديث والفقه والتفسير واللغة والنحو وعلماء الأصول ، وعلماء المذاهب الأربعة من الشافعية والحنفية والمالكية والحنابلة – إلا من لحق منهم بأهل التجسيم – والصوفية الصادقين كلهم على عقيدة تنزيه الله عن المكان ، إلا أن المشبهة ومنهم نفاة التوسل شذّوا عن هذه العقيدة الحقّة فقالوا إنّ الله يسكن فوق العرش بذاته والعياذ بالله تعالى .
1 – وممن نقل إجماع أهل الحق على تنزيه الله عن المكان الشيخ عبد القاهر التميمي البغدادي المتوفـّى سنة 429 هـ ، فقد قال ما نصه 33 : " وأجمعوا – أي أهل السنة والجماعة – على أنه – أي الله – لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان " اهـ
‎2 – وقال الشيخ إمام الحرمين عبد الملك بن عبد الله الجُويني الشافعي المتوفـّى سنة 478 هـ ما نصّه 34 : " ومذهب أهل الحقّ قاطبة أنّ الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيّز والتخصّص بالجهات " اهـ .
3 – وقال المفسّر الشيخ فخر الدين الرازي المتوفـّى سنة 606 هـ ما نصّه 35 : " إنعقد الإجماع على أنه سبحانه ليس معنا بالمكان والجهة والحيّز " اهـ .
4 – وقال الشيخ إسماعيل الشيباني الحنفي المتوفـّى سنة 629 هـ ما نصه 36 : " قال أهل الحقّ : إنّ الله تعالى متعالٍ عن المكان ، غيرُ متمكّن في مكان ، ولا متحيّز إلى جهة خلافًا للكرامية والمجسمة " اهـ .
5 – وقال سيف الدين الآمدي ( 631 هـ ) ما نصه 37 : " وما يُروى عن السلف من ألفاظ يوهم ظاهرها إثبات الجهة والمكان فهو محمول على هذا الذي ذكرنا من امتناعهم عن إجرائها على ظواهرها والإيمان بتنزيلها وتلاوة كل ءاية على ما ذكرنا عنهم ، وبيّن السلف الاختلاف في الألفاظ التي يطلقون فيها ، كل ذلك اختلاف منهم في العبارة ، مع اتفاقهم جميعًا في المعنى أنه تعالى ليس بمتمكن في مكان ولا متحيّز بجهة " اهـ .
وللشيخ ابن جهبل الشافعي ( 733 هـ ) رسالة ألّفها في نفي الجهة ردّ بها على المجسّم الفيلسوف ابن تيمية الحرّاني الذي سفّه عقيدة أهل السنة وطعن بأكابر صحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم كعمر وعلي رضي الله عنهما .
6 – قال ابن جهبل ما نصه 38 : " وها نحن نذكر عقيدة أهل السنة فنقول : عقيدتنا أن الله قديم أزلي ّ ، لا يشبه شيئًا ولا يشبهه شيء ، ليس له جهة ولا مكان " اهـ
‎7 – نقل الشيخ تاج الدين السبكي الشافعي الأشعري ( 771 هـ ) عن الشيخ فخر الدين ابن عساكر أنه قال : " إنّ الله تعالى موجود قبل الخلق ليس له قبل ولا بعد ، ولا فوق ولا تحت ، ولا يمين ولا شمال ، ولا أمام ولا خلف " . ثم قال ابن السبكي بعد أن ذكر هذه العقيدة ما نصه 39 : " هذا ءاخر العقيدة وليس فيها ما ينكره أي سنّي " اهـ .
8 – ووافقه على ذلك الحافظ المحدث صلاح الدين العلائي ( 761 هـ ) أحد أكابر علماء الحديث فقال ما نصه 40 : " وهذه " العقيدة المرشدة " جرى قائلها على المنهاج القويم ، والعَقد المستقيم ، وأصاب فيما نزّه به العليّ العظيم " اهـ .
9 – قال الشيخ محمد ميّارة المالكي ( 1072 هـ ) ما نصه 41 : " أجمع أهل الحقّ قاطبة على أنّ الله تعالى لا جهة له ، فلا فوق ولا تحت ولا يمين ولا شمال ولا أمام ولا خلف " اهـ .
10 – وقال شيخ جامع الأزهر سليم البشري ( 1335 هـ ) ما نصه : " مذهب الفرقة الناجية وما عليه أجمع السنّيون أن الله تعالى منزّه عن مشابهة الحوادث مخالف لها في جميع سمات الحدوث ومن ذلك تنزهه عن الجهة والمكان " اهـ ، ذكره القضاعي في " فرقان القرءان " 42 .
11 – وقال الشيخ يوسف الدجوي المصري ( 1365 هـ ) عضو هيئة كبار العلماء بالأزهر الشريف في مصر ما نصّه 43 : " واعلم أن السلف قائلون باستحالة العلو المكاني عليه تعالى ، خلافًا لبعض الجهلة الذين يخبطون خبط عشواء في هذا المقام ، فإن السلف والخلف متفقان على التنزيه " اهـ .
12 – وقال أيضًا 44 : " هذا إجماع من السلف والخلف " اهـ .
13 – وقال الشيخ سلامة القضاعي العزامي الشافعي ( 1376 هـ ) ما نصه 45 : " أجمع أهل الحق من علماء السلف والخلف على تنزّه الحق – سبحانه – عن الجهة وتقدسه عن المكان " اهـ .
14 – وقال المحدث الشيخ محمد عربي التبان المالكي المدرس بمدرسة الفلاح وبالمسجد المكي ( 1390 هـ ) ما نصه 46 : " اتفق العقلاء من أهل السنة الشافعية والحنفية والمالكية وفضلاء الحنابلة وغيرهم على أن الله تبارك وتعالى منزه عن الجهة والجسمية والحدّ والمكان ومشابهة مخلوقاته " اهـ .
15 – وممن نقل الإجماع على ذلك في مواضع كثيرة من مؤلفاته ودروسه المتكلم على لسان السلف الصالح العلامة الشيخ عبد الله الهرري المعروف بالحبشي وله عناية شديدة بتعليم عقيدة أهل السنة والجماعة للناس فقال ما نصه 47 : " قال أهل الحق نصرهم الله : إن الله سبحانه وتعالى ليس في جهة " اهـ ، فالحمد لله على ذلك .
وقد حذر رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل الأهواء بقوله : " وإنه سيخرج من أمتي أقوامٌ تجارى بهم تلك الأهواء كما يتجارى الكَلَب 48 بصاحبه ، لا يبقى منه عرقٌ ولا مفصلٌ إلا دخله " رواه أبو داود 49 . فالحمد لله الذي جعل لنا من يبيّن عقيدة أهل السنة ويدافع عنها . وتمسك أخي المسلم بهذه العقيدة التي عليها مئات الملايين من المسلمين ، والحمد لله على توفيقه


Hal ini adalah bantahan keras terhadap artikel-artikel yang seperti contoh pada judul "Di manakah Allah SWT Berada? Ini Jawabannya" yang di muat di halaman REPUBLIKA.CO.ID dan artikel-artikel yang sefaham dan semakna dengan catatan itu. Untuk mengetahui Tentang Mutasyabbihat silahkan baca disini

Wallahu A’lam. © Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

WAHABI-ISIS

Sebagaimana yang tercantum dalam kitab beliau al-Imam an-Nawawi salah satu Ulama besar yang memiliki banyak karya menjadi rujukan Ummat Islam seluruh dunia. Banyak fatwa beliau yang mungkin menyakitkan hati wahabi, diantara yang paling menohok aqidah wahabi adalah dalam  Syarah Shahih Muslim, disebutkan dengan gamblang seperti berikut :

 أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi lima (5) macam : (1) bid’ah yang wajib, (2) mandzubah “bid’ah yang sunnah”, (3) muharramah “bid’ah yang haram”, (4) makruhah “bid’ah yang makruh”, dan (5) mubahah “bid’ah yang mubah”” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]

Fatwa Imam Nawawi diatas membuat “Tudingan” wahabi terhadap Umat Islam tidak mempunyai kekuatan, bahkan sangat “Rapuh” dan terlihat wahabi tidak mempunyai kapasitas Ilmu dalam Islam. Diantara Fatwa Imam Nawawi yang paling menyakitkan aqidah wahabi adalah ketika Imam Nawawi menjelaskan Ayat Al-Qur’an  (QS. An-Nisaa’ : 64). Penjelasan Imam Nawawi ini membuat wahabi terbakar bagaikan syaitan saat mendengar Adzan. Ini Ayat jelas-nya :   

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 64) 
Al-Imam An-Nawawi menjelaskan Ayat ini :
عن العُتْبي، قال: كنت جالسا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء أعرابي فقال: السلام عليك يا رسول الله، سمعت الله يقول: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وقد جئتك مستغفرا لذنبي مستشفعا بك إلى ربي ثم أنشأ يقول : يا خيرَ من دُفنَت بالقاع أعظُمُه … فطاب منْ طيبهنّ القاعُ والأكَمُ نَفْسي الفداءُ لقبرٍ أنت ساكنُه … فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ ثم انصرف الأعرابي فغلبتني عيني، فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في النوم فقال: يا عُتْبى، الحقْ الأعرابيّ فبشره أن الله قد غفر له
Dari Al-‘Utbiy. Ia (Al-‘Utbiy) berkata : “Aku pernah duduk di sisi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah seorang Arab baduwi yang berkata : ‘Assalaamu ‘alaika yaa Rasuulallaah (salam sejahtera bagimu wahai Rasulullah). Aku telah mendengar firman Allah : Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisaa’ : 64). Dan sungguh aku datang kepadamu sebagai orang yang meminta ampun atas dosaku meminta pertolongan melalui perantaraanmu kepada Rabb-ku’. Kemudian ia mengucapkan : Wahai sebaik-baik manusia yang jasadnya dikuburkan di dalam tanah, Menjadi harumlah tanah dan bukit karenanya, Jiwaku sebagai penebus bagi kubur yang engkau tempati, Di dalamnya ada kesucian, kemurahan, dan kemuliaan

Orang Baduwi itu lantas pergi. Kemudian aku ngantuk dan tertidur. Aku melihat (dalam mimpi) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai ‘Utbiy, kejarlah orang Arab baduwi itu, dan kabarkanlah kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya”. Al-Imam An-Nawawi dalam (Al-Adzkar lin-Nawawi hal. 233-234).

Wahabi Membuat Cerita Dusta Atas Nama Imam Nawawi

Setidaknya ada dua [2] fitnah Wahabi terhadap Imam Nawawi yang saling bertolak-belakang, yaitu tuduhan sesat dan tuduhan taubat. Dan sudah banyak yang  Membongkar Kitab Rekayasa Wahabi Yang Dinisbahkan Kepada Imam Nawaw Ulama besar ini, adapun fitnah itu :

[1]. Tuduhan sesat kepad Imam Nawawi yang masyhur adalah mengenai kitab adzkar, dan tuduhan yang dilakukan oleh “Muhammad bin Shalih al-Utsaimin” dalam kitab nya Liqa’ al-Bab al-Maftuh bahwa Imam Nawawi bukan Ahlus Sunnah Waljama’ah, ketika Syaikh Utsaimin ditanya tentang status Imam Nawawi: “Apakah Ibn Hajar al-‘Asqalani dan an-Nawawi dari golongan Ahlussunnah atau bukan?”.
Syaikh ‘Utsaimin menjawab : “Dilihat dari metode keduanya dalam menetapkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah maka keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah”. (Lihat buku dengan judul Liqa al-Bab al-Maftuh, cet. Dar al-Wathan, Riyadl, 1414 H, h. 42).
tuduhan ini memang sudah lumrah, karena setiap yang tidak sama dengan mereka pasti dituduh sesat, lebih lagi karena Imam Nawawi adalah seorang Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari, fitnah ini telah dilemparkan oleh Wahabi terhadap semua Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari atau Maturidi, semua di cap sebagai ahlu bid’ah sesat, semoga Allah melindungi semua penegak Islam.

[2]. Tuduhan bahwa Imam Nawawi telah bertaubat dari aqidah Asy’ari ke aqidah Salafi Wahabi, bukan Salafi murni, karena tidak ada takfiri antara Salaf dan Khalaf, fitnah ini bersumber dari sebuah rekayasa pembenci Imam Nawawi lewat lembaran-lembaran kitab rekayasa yang dinisbahkan kepada Imam Nawawi yang katanya “beliau sempat bertaubat dari aqidah Asy’ari dan kembali ke aqidah Salaf kira-kira dua bulan sebelum beliau wafat, dan sempat menulis kitab tentang aqidah Ulama Salaf serta mencela Asya’irah,
Tapi kitabnya hilang dan yang tersisa hanya satu Juzuk/Jilid yang membahas tentang -Kalamullah Huruf dan Suara-” sehingga jilid itu disebut جزء الحروف والأصوات” -Juzk Huruf Wal Ashwat- atau -Juzk Fil Huruf Wal Ashwat- atau جزء فيه ذكر اعتقاد السلف في الحروف و الأصوات -Juzk Fi Hi Dzikru I’tiqod Salaf Fil Huruf Wal Ashwat-" dan kitab rekayasa itu di tahqik oleh pentahkiq Wahabi yaitu “Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati”, agar penyamaran itu sempurna dan terkesan benar adanya, serta menumbuhkan keragu-raguan pada pengikut Ahlu Sunnah Waljama’ah yang beraqidah Asy’ari, Na’uzubillah min dzalik.

Sekilas Tentang Kitab Rekayasa Yang Dinisbatkan Kepada Imam Nawawi

Kitab rekayasa tersebut dibuat seolah-olah Imam Nawawi menulis ringkasan [ikhtishar] dari dua kitab berbeda yakni kitab Ghoyatul Marom Fi Mas-alatil Kalam غاية المرام في مسألة الكلام” katanya itu kitab Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i, dan dari kitabnya Imam Nawawi sendiri yakni kitab at-Tibyan Fi Adabi Hamlatil Qur’anالتبيان في آداب حملة القرآن sehinggah kitab kebohongan itu terdiri dari dua bagian, dan insyaallah akan kami jelaskan dibawah mana yang dari kitab Ghoyatul Marom dan mana yang dari at-Tibyan. Kitab dusta tersebut terdiri dari Muqaddimah dan 18 [delapan belas] pasal, yaitu:

(1). Tentang huruf dan apakah ia qadim atau hadits. (2). Tentang Kalam Allah. (3). Tentang itsbat harf bagi Allah ta’ala. (4). Tentang itsbat suara bagi Allah ta’ala. (5). Tentang bahwa qiraah itu dibacakan dan bahwa kitabah itu dituliskan. (6). Tentang bahwa Kalam Allah itu didengarkan. (7). Tentang Hadits-hadits yang menguatkan bahwa Kalam Allah itu didengarkan. (8). Tentang wajib hormati Al-Quran. (9). Tentang haram Tafsir Al-Quran tanpa ilmu. (10). Tentang haram ragu dan jidal pada Al-Quran dengan cara yang tidak benar. (11). Tentang tidak dilarang kafir mendengar Al-Quran dan dilarang menyentuhnya. (12). Tentang menulis Al-Quran pada bejana lalu disirami air dan diberikan ke orang sakit. (13). Tentang menghias dinding dan pintu dengan Al-Quran. (14). Tentang sunnah menulis mushaf. (15). Tentang tidak boleh menulis Al-Quran dengan najis. (16). Tentang wajib menjaga mushaf dan menghormatinya. (17). Tentang haram terhadap orang berhadats menyentuh mushaf dan membawanya. (18). Tentang melarang anak-anak dan orang gila membawa mushaf.

Dari dua bagian kitab rekayasa ini disebutkan bahwa bagian pertama yaitu tujuh Pasal awal mulai dari [Tentang huruf dan apakah ia qadim atau hadits.] sampai akhir [Tentang Hadits-hadits yang menguatkan bahwa Kalam Allah itu didengarkan.] itu diringkas dari kitab Ghoyatul Marom Fi Mas-alatil Kalamkarya Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i, dan bagian kedua yaitu sebelas Pasal selanjutnya mulai dari [Tentang wajib hormati Al-Quran.] sampai akhir [Tentang melarang anak-anak dan orang gila membawa mushaf.] itu ringkasan dari kitab Imam Nawawi sendiri yakni kitab at-Tibyan Fi Adabi Hamlatil Qur’an.

Skenario yang hampir bisa dibilang sempurna, mencampurkan yang haq dengan yang batil, agar yang batil sekilas terlihat haq, tapi Allah akan selalu menolong para penegak Agama, maka dengan cepat rekayasa dan tipuan itu bisa kita ketahui, fitnah dan cerita dusta Salafi Wahabi itu pasti akan di tampakan juga oleh Allah Azza wajalla. Baca tipuan yang lain : (10 kitab yang di palsukan wahabi)

Alasan Menolak penisbatan Kitab Rekayasa [Juzk Fil Huruf Wal Ashwat] Kepada Imam Nawawi

[1]. Bahwa Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i ini orang tidak dikenal bahkan tidak pernah ada sama sekali dalam jajaran Ulama Syafi’iyyah dalam kitab mana pun, bahkan lagi pentahqik kitab itu pun tidak kenal dengan Abu Abbas al-Armawi ini, tidak mungkin orang yang dipuji setinggi langit oleh Imam Nawawi dalam kitab itu tidak tercatat dalam sejarah, apalagi dalam peristiwa sebesar ini [seandainya itu benar adanya], tapi jangankan kehidupannya, kuburnya pun tidak ada, benar-benar ini tokoh fiktif belaka.

[2]. Bahwa kitab rekayasa “Ghoyatul Marom Fi Mas-alatil Kalam” karya Abu Abbas al-Armawi tersebut tidak pernah ada sama sekali, hanya kitab fiktif, karena orang nya memang tidak pernah ada, bagaimana mungkin Imam Nawawi meringkas kitab yang tidak pernah ada itu.

[3]. Bahwa Imam Nawawi tidak punya guru yang bernama Abu Abbas al-Armawi, bahkan dalam kitab rekayasa itu sendiri, pentahqik lupa menambah Abu Abbas al-Armawi dalam jajaran guru Imam Nawawi.

[4]. Bahwa aqidah Ulama salaf bukan seperti tersebut dalam kitab rekayasa itu, tapi Tafwidh ma’at Tanzih atau Takwil Ijmali tanpa Takyif, Tasybih dan Ta’thil, itu Manhaj Taymiyyin yang belum ada masa Imam Nawawi.

[5]. Bahwa dalam kitab Biografi Imam Nawawi tidak pernah ada sejarah bahwa Imam Nawawi pernah menulis kitab rekayasa tersebut yakni [Juzk Fil Huruf Wal Ashwat].

[6]. Bahwa tidak disebutkan siapa penemu kitab rekayasa itu dan kapan ditemukannya, tidak ada murid atau keluarga atau Ulama semasa Imam Nawawi yang tau adanya kitab itu, dan baru ketahuan setelah ribuan tahun kemudian saat kitab itu ada ditangan pentahqik Wahabi yakni Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati, dan kemungkinan besar inilah biang fitnah ini.

[7]. Bahwa banyak pembesar Wahabi juga tidak percaya dengan keberadaan kitab rekayasa itu, hingga Imam Nawawi di cap sesat karena beliau seorang Sufi beraqidah Asy’ari.

[8]. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus “penemu” kitab rekayasa  itu adalah pembenci Imam Nawawi dan anti Sufi juga anti Asy’ari.

[9]. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati adalah orang pikun hingga nampak kedustaannya yaitu salah menetapkan tanggal dalam kitab rekayasa itu, dalam Muqaddimah ia sebutkan bahwa kitab itu selesai ditulis oleh Imam Nawawi pada Kamis 3 Rabiul Akhir 676 H [في الخميس الثالث من شهر ربيع الآخر سنة 676 هـ] tapi pada akhir kitab ia sebutkan kitab itu selesai pada Kamis 3 Rabiul Awwal 676 H [الخميس الثالث من شهر ربيع الأول سنة ست وسبعين وستمائة.]

[10]. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati juga melakukan kesalahan ketika mentahqik mengubah ibarat dari dasar nya (فرغنا منه صبيحة الخميس) menjadi (فرغنا من نسخه الخميس). Sudah cukup alasan untuk tidak menerima penisbahan kitab rekayasa tersebut kepada Imam Nawawi, tapi lebih layak kitab itu dinisbahkan kepada Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus “penemu” kitab itu.

Semua fitnah Salafi Wahabi yang timbul di setiap masa pasti telah dijawab oleh Ulama pada masa itu, karena memang sudah menjadi kewajiban atas Ulama untuk terus menjaga kemurnian Islam, dan kemuliaan Ulama Ahlu Sunnah Waljama’ah, apalagi yang dicela oleh Wahabi adalah Ulama sekelas Imam Nawawi, seorang pendekar Madzhab Syafi’i, kasus dan modus seperti ini bukan pertama kali terjadi tapi sudah terjadi sebelumnya dan akan terjadi setelahnya juga.

Tidak Berhasil membuat Tipuan Dari Kitab Imam Nawawi BOM-pun Meledak

Karya-karya Imam Nawawi telah menjadi rujukan Ummat Islam di seluruh dunia, bahkan salafi wahabi sendiri kerap menukil pendapat Imam Nawawi sebagai dalal. Maka tentu saja para Ulama sudah mengetahui bagaimana biografi beliau, baik dari guru, semua karyanya, hingga keagungan kapasitas Ilmu beliau “Imam Nawawi” sehingga memang tidak bisa dipalsukan, apapun yang berkaitan dengan beliau. Indikasi penyesatan Ulama Wahabi terhadap Imam Nawawi tidak sedikitpun menurunkan derajat dan martabat Imam Nawawi.

Seandainya Imam Nawawi masih Hidup, tentu kelompok wahabi ini akan menculik dan menyiksa beliau dengan keji, sehingga kedengkian wahabi tersalurkan atas kebenciannya terhadap Imam Nawawi. Alhasil karena Imam Nawawi sudah tiada dan karyanya-pun masih dijadikan Rujukan oleh Ummat Islam dunia. Maka wahabi menggerakkan Tim radikal-nya yang ber-label ISIS untuk menghancurkan Makam Beliau Al-Alim Imam An-Nawawi Rahimahullah, Dengan mengebom makam Imam Nawawi (baca : Makam Imam Nawawi Di Bom Oleh Wahabi) mungkin sedikit terobati hatinya, dan sekaligus menjalankan misi Zionisme. Lanjutkan baca pada : Menghapus Madzhab Langkah Menuju Kemenangan Yahudi

Wallahu A’lam.
© Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net