SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Senin, 22 Februari 2016

KH.Q. AHMAD SYAHID, GUS DUR, DAN KEBENCIAN YANG REMUK


KH.Q. AHMAD SYAHID, GUS DUR, DAN KEBENCIAN YANG REMUK


 



Sekitar tahun 2002, saya menjadi seorang Santri di Pondok Pesantren Al-Falah Bandung yang diasuh KH. Q. Ahmad Syahid. Waktu itu para santri biasa memanggil beliau dengan sebutan ‘Ayah’. Di pesantren ini, saya sekolah Tsanawiyah.

Salah satu kawan saya, Ari namanya, merupakan pelanggan majalah Islam Sabili selama di pondok. Tak jarang saya membaca majalah itu setelah dirinya selesai. Ada dua isu besar yang selalu diangkat majalah tersebut: Penegakkan Syaria’t Islam dan Gus Dur. Karena saya tidak tertarik tentang Syari’at Islam ala Sabili, maka berita Gus Dur menjadi fokus saya waktu itu.

Sedikit demi sedikit, untuk pertama kalinya, kebencian kepada seorang manusia tumbuh dalam diri saya, dan semakin lama kebencian itu semakin menegas. Kepada siapa saya benci? Kepada Gus Dur. Siapa penyebabnya? Majalah Islam Sabili.

Di tengah kegiatan saya membaca al-Qur’an dan mengaji Kitab Kuning, kebencian saya kepada Gus Dur begitu mengkristal. Dia adalah Kyai yang membela kemaksiatan, Kyai yang murtad karena sudah dibaptis masuk Kristen, Kyai yang mendukung pemurtadan, Kyai yang menyebabkan terbunuhnya para Kyai di Jawa, Kyai yang membuat orang Islam di Poso dipenggal dan dibunuh. Semua isu itu diulang-ulang majalah Sabili pada banyak edisi. Saya sungguh percaya. Dan kepercayaan itu saya wujudkan dengan penghinaan serta cacian, “Di Neraka nanti, Gus Dur adalah pemimpin para Kyai yang sebenarnya busuk dan munafik.!”

Keterkejutan saya tiba, ketika Ayah mengadakan pengajian bersama Gus Dur di Pondok. Para Ustadz dan Kyai-kyai kampung sekitar pondok diundangnya. “Kenapa Ayah mengundang Kyai edan itu? Biar semua santri dan masyarakat menjadi sesat seperti dirinya?” Diam-diam hati saya mengutuk keputusan Ayah.

Tapi tak bisa dipungkiri, selain kutukan yang saya lemparkan, ada kepenasaran yang lahir diam-diam. Setahu saya, Ayah adalah Kyai kharismatik, begitu indah perangainya, sangat luas ilmunya, dan selalu berhati-hati dalam memilih kawan. Lalu bagaimana mungkin Ayah menjadikan Kyai edan semacam Gus Dur sebagai kawan? Bahkan sesekali kudengar, Ayah menyebut Gusdur sebagai Guru. Walah bahaya. Siapa yang harus kupercaya dalam menilai Gus Dur? Majalah Sabili yang tak pernah kutemui orang-orang di baliknya? Atau Ayah yang setiap hari mengajariku dan mengasuhku di Pesantren?

Ah, pertanyaan dalam diriku tentang siapa sebenarnya Gus Dur, rupanya tak terjawab sampai aku meninggalkan Pondok Pesantren al-Falah dan menyelesaikan Aliyah di al-Musaddadiyah Garut. Sedangkan kebencian dan kepenasaranku pada Gus Dur, tetap mengendap, tak terendus, tak terlihat, membasahi palung ingatan.

Ketika keilmuan saya bertambah matang, dan hati nurani telah mampu ‘mempertimbangkan’, benci pada Gusdur akhirnya remuk, bahkan mewujud menjadi rindu dan cinta. Bagaimana proses ‘perpindahan rasa’ itu terjadi? Lain kali akan saya ceritakan. Sedangkan Ari sendiri, teman saya yang pelanggan majalah Sabili itu, sudah tak berhasrat menegakkan Syariat Islam yang dipropagandakan majalah Sabili, melainkan telah menjadi Bobotoh Sejati PERSIB.

“Nak, dalam memahami sesuatu, gunakanlah pengetahuanmu. Perasaan benci dan cinta, singkirkanlah terlebih dahulu.!” Kata-kata ini diucapkan Ayah (KH.Q. Ahmad Syahid) dalam mimpiku. Kami bertemu di sebuah tempat yang entah dimana. Dan ketika bangun tidur, tubuhku menggigil, keringatku menderas, terpana aku oleh pesan Ayah ini.

Mimpi itu terjadi ketika aku kuliah di UIN Bandung, dan baru semester 2.

Siapa yang tak bahagia, ditemui oleh Guru yang amat dihormatinya dalam ruang yang tak terduga: alam mimpi. Pesan Ayah itu menggedor kesadaranku, menulusup pada kedirianku yang paling dalam. Bahkan ajaibnya, benciku pada Gus Dur seketika remuk. Ya, benci yang mengkristal selama bertahun-tahun itu rubuh. Pecah dan meledak. Meski aku belum mengetahui, apakah aku akan jatuh cinta padanya.

Kebencianku pada Cucu Mbah Hasyim Asy’ari itu, membenam di dada saat aku masih kecil, saat segala informasi dengan mudah kutelan dan kuterima. Tapi hari ini, aku sudah besar, sudah memiliki gelar Mahasiswa, dan sudah semestinya aku memahami sesuatu dengan pengetahuan dan ilmu. Dan Ayah lah yang menyadarkanku akan hal itu.

Penelusuranku tentang pemikiran Gus Dur dimulai.

Pemikiran Gus Dur yang pertama kujelajahi adalah, kenapa ia selalu ada digaris depan untuk membela orang-orang yang dinyatakan ‘bersalah’ oleh kebanyakan orang? Terutama mereka yang dinilai melanggar keadaban orang Muslim. Goyang Inul, misalnya, ketika banyak orang Islam yang menghujat penyanyi asal pasuruan itu, Gus Dur lah yang paling terang-terangan menyodorkan tangannya untuk memberi perlindungan padanya. Apakah itu disebabkan Gus Dur mendukung tingkah laku Inul? Tidak.! Tidak seperti itu yang kulihat. Bagiku, Gus Dur adalah ‘jalan terakhir’ dalam konsep Dakwah yang termaktub di Surat Al-Ashr. Ketika semua orang menghujat Inul dengan Ayat Tuhan, melemparinya dengan berbagai bentuk ‘Watawa saubil haqqi’, Gus Dur lah yang menjadi wujud terciptanya ‘Watawa saubis Shabri’. Kesabaran dalam menemani dan membimbing, agar Inul sebagai objek dakwah, satu ketika akan menerima apa yang disebut ‘Hidayah’. Gus Dur seolah menyadari, bahwa turunnya Hidayah Allah tak semudah terlemparnya ayat dari seorang Da’i kepada Mad’unya. Harus ada kesabaran, harus ada proses menemani. Harus.! Dan kasus semacam ini dalam perjalanan Gus Dur tidaklah sedikit.

Pemikiran Gus Dur selanjutnya yang terendus olehku adalah, tentang pembaptisannya di sebuah Gereja. Ini yang dulu paling membuatku muak. Kenapa seorang Kyai mau-maunya masuk ke tempat ibadah orang lain, bahkan didoa’kan oleh banyak orang dengan nama Bapak, Yesus, dan Bunda Maria. “Itu murtad.!” Teriakku saat itu ketika melihat rekaman Videonya. Tapi rupanya, ada hal penting yang kulupakan, bahwa peristiwa itu terjadi saat Gus Dur sedang menjadi Kepala Negara. Ini artinya, dia bukan hanya milik orang Islam, tapi semua masyarakat Indonesia. Tak peduli dengan adat atau Agama yang berbeda, dirinya harus tetap berlaku adil, semuanya harus dipandang dalam martabat yang sama. Masalah tentang Do’a umat Kristiani untuk Gus Dur itu, yang digelincirkan oleh majalah Sabili sebagai praktik ‘Pembaptisan’, akhirnya hanya ditertawakan oleh Gus Dur. Bagaimana tidak? Bagi Gus Dur, agama itu letaknya di hati, dan Tuhanlah yang menghakimi. “Kalau saya shalat, puasa, zakat, naik haji, tapi jika hanya pura-pura? Kan batal semua. Nah para pendeta itu tidak hafal dengan Isi hati saya.” Ungkap Gus Dur kepada sahabatnya Cak Nun.

“Al-Qur’an adalah kitab paling Porno..” Kalimat Gus Dur ini menjadi sesuatu yang saya telusuri selanjutnya. Gara-gara ungkapan ini, Gus Dur dihakimi habis-habisan oleh banyak orang Islam. Dia dituduh telah menghina al-Qur’an, mencaci Agama, dan melecehkan Pembuatnya, yakni Allah. Karena Porno berkonotasi negatif, tentu itu tak pantas jika disandingkan dengan al-Qur’an yang suci. Kemudian saya bertemu dengan bukunya Muhammad Guntur Romli yang berjudul, ‘Ustadz, Saya Sudah Di Surga’. Di buku ini lah, saya mendapatkan ungkapan Gus Dur tentang porno itu secara lengkap dan utuh. Guntur Romli kebetulan waktu itu menemani Gus Dur dalam sebuah acara kongkow, di tengah acara Gus Dur bilang, “Seandainya ada orang yang pikirannya ngeres, tentu dia akan bilang bahwa AL-QUR’AN KITAB PALING PORNO. Karena di dalamnya ada pembicaraan tentang menyusui.”. Lihatlah, kata-kata Gus Dur ditebas sedemikian rupa. Hingga akhirnya, kalimat yang sebenarnya merupakan ‘Pengandaian’, dipropagandakan sebagai ‘Statmen Penghinaan’. Ah, aku sangat mengerti, kehancuran yang diakibatkan oleh ‘mengutip’ setengah-setengah semacam ini.

“Gitu aja kok repot.” Bagiku, kalimat yang menjadi khas Gus Dur ini, adalah puncak dari semua pemikirannya. Mungkin bagi Kyai yang senang bersilaturahmi kepada para Ulama ini, segala yang terjadi di dunia ini adalah sederhana, tak ada satu pun peristiwa yang boleh membuat dirinya repot, tak ada satu pun kejadian yang boleh mengusik hatinya untuk dzalim, menindas, mengasingkan, menghina, menghujat, dan berlaku tidak adil kepada sesama manusia. Itulah yang membuat Gus Dur tetap ‘kalem’ meski dicaci sedemikian rupa.

Berbeda dengan kita, yang terkadang terlalu ‘Baper’ pada banyak peristiwa yang mendatangi, sehingga kehidupan ini dipandang sebagai kerepotan-kerepotan yang seolah tak akan selesai. Harus kuakui, kalimat “Gitu aja kok repot” yang membuat cintaku kepada Gus Dur mulai berdetak, menjelma diam-diam. Karena orang yang telah menganggap ‘hidup bukanlah kerepotan’, adalah dia yang telah lulus dalam pertengkaran yang mengerikan dengan dirinya sendiri. Dan orang semacam itu sangat pantas kuhaturkan cinta.

Begitu banyak pemikiran Gus Dur yang kutemui dalam perjalananku menuju ‘Rindu’ dan ‘Cinta’, yang tak bisa dituliskan dalam catatan sederhana ini. Bukan karena tak ada waktu dan tak becus mengungkapkannya, tapi aku sudah sangat rindu menggendong anakku yang masih kecil. Sabda. Dia menangis terus.

Yang amat kusyukuri dalam hubunganku dengan Gus Dur, adalah pertemuanku dengan Ayah pada sebuah mimpi, seraya memberi pesan yang begitu berharga bagi seorang pembelajar sepertiku. Akan kukirim do’aku pada kedua Kyai itu melalui hening dan diam. Dan dalam diam itu, biarlah kukenang kembali apa yang pernah disabdakan Muhammad Sang Nabi Agung berabad-abad lalu, “Manusia itu cenderung membenci sesuatu yang tak dia ketahui.”

Pada mulanya adalah benci, kemudian menjadi cinta, lalu menjelma menjadi rindu. Itu yang kurasakan pada Gus Dur waktu itu. Setelah kebencianku pada Gus Dur meremuk, hatiku terus melengking meneriakan namanya, “Bagaimana aku bisa menemuimu, Gus? Mencium tanganmu, itu saja yang kuinginkan.”

Berbagai cara kutempuh, tapi jasadku tak juga sanggup menggapai Gus Dur. Akhirnya, kuputuskan setiap sebelum tidur mengirim al-Fatihah untuk Kyai itu. Berharap dalam mimpi, dia mau menemuiku. Ya, biarkan alam mimpi yang mempertemukan kami berdua. Tak banyak yang kuinginkan, hanya mencium tangan dan meminta maaf atas setiap cacianku padanya.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, Gus Dur tak juga menjelang dalam mimpiku, padahal kangenku sudah tak tertahankan. Akan tetapi, di hari ke 94 semenjak kuawali mengirim surat al-Fatihah, Gus Dur akhirnya tiba dalam mimpi. Dan pada tulisan ini, ingin kuceritakan kembali apa yang terjadi.
Tanpa didampingi siapa pun, Gus Dur dan aku bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik dan sarung membungkus tubuhnya, peci yang miring serta kacamata tebalnya melengkapi kediriannya. Dialog yang bagiku aneh pun terjadi. Aneh karena perbincangan kami kesana kemari, tak jelas arahnya.
Gus Dur :
“Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.!”
Mughni :
“Iya, Gus. Tapi..”
Gus Dur :
“Bagaimana tidak repot, hidupmu terlalu banyak ‘tapi’.!”
Mughni :
“Hehehehe..”
Gus Dur :
“Apa kamu kenal Wa Totoh? Maksud saya KH. Totoh Ghozali.”
Mughni :
“Disebut kenal ya tidak, tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio.”
Gus Dur :
“Belajarlah kamu kepadanya, bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa lokal sebagai senjatanya, memakai humor cerdas tanpa hina dan caci.”
Mughni :
“Baik, Gus, kalau itu perintah Panjenengan.”
Gus Dur :
“Ini bukan perintah, ini memang sesuatu yang seharusnya kamu lakukan sebagai Da’I.”
Mughni :
“Laksanakan.”
Gus Dur :
“Kamu suka menulis?”
Mughni :
“Tidak, Gus, tulisan saya buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek, tapi benar-benar buruk hasilnya.”
Gus Dur :
“Rupanya kamu belum pernah dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus.”
Mughni :
“Lha, Panjenengan tau darimana kalau saya belum pernah dilukai wanita?”
Gus Dur :
“Ya itu tadi, karya sastramu buruk sekali.”
Mughni :
“Hmmmmm..”
Gus Dur :
“Kamu pernah pesantren?”
Mughni :
“Pernah, Gus.”
Gus Dur :
“Dimana?”
Mughni :
“Di Al-Falah sama di Al-Musaddadiyah.”
Gus Dur :
“Rupanya kamu Santri Kyai Syahid sama Kyai Musaddad.”
Mughni :
“Iya.”
Gus Dur :
“Saya juga sering bersilaturahmi ke beliau-beliau itu. Mereka salah satu penjaga Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.”
Mughni :
“Ketika jadi Santri, saya nakal sekali. Saya merasa malu kepada beliau-beliau itu, Gus.”
Gus Dur :
“Saya beritahu kamu, kebaikan seorang Santri tidak dilihat ketika dia berada di Pondok, melainkan setelah dia menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini, bahwa kamu adalah santri yang baik.”
Mughni :
“Terima kasih, Gus.”
Gus Dur :
“Dunia tanpa pesantren, bagi saya adalah siksa. Bersyukurlah karena kamu pernah menjadi bagian di dalamnya.”
Mughni :
“Iya, Gus.”
Gus Dur :
“Kamu mau tau rahasia hidup saya dalam memandang segala sesuatunya?”
Mughni :
“Tentu, Gus, saya ingin tau rahasia panjenengan.”
Gus Dur :
“Dalam memandang segala sesuatu, gunakanlah ‘mata’ Allah.”
Mughni :
“Waduh. Bagaimana contohnya?”
Gus Dur :
“Contohnya begini. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima semuanya dengan lapang dada. Karena apa? Saya selalu yakin, Allah lah yang menggerakan hati mereka untuk datang kepada saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi kemanusiaannya.”
Mughni :
“Duh..”
Gus Dur :
“Lebih jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca al-Qur’an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi al-Qur’an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”
Mughni :
“Ya Allah..”
Sebelum dialog itu berlanjut, kawanku membangunkan untuk mengajak kuliah. Ketika bangun tidur, perutku lapar sekali. Mungkin karena dalam mimpi, aku dan Gus Dur tak makan dan minum di warung nasi itu, tapi hanya berbincang.

Sumber : Sanghyang Mughni Pancaniti

SEKILAS BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI


Hasil gambar untuk foto imam al ghazali

Puluhan karya yang ditulisnya merupakan bukti kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki Al-Ghazali. 
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii atau lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh Muslim terkemuka sepanjang zaman. 
 

Ia dikenal sebagai seorang ulama, filsuf, dokter, psikolog, ahli hukum, dan sufi yang sangat berpengaruh di dunia Islam.

Selain itu, berbagai pemikiran Algazel–demikian dunia Barat menjulukinya–juga banyak mempengaruhi para pemikir dan filsuf Barat pada abad pertengahan.


Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sungguh fenomenal. Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa, tutur Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944.


Salah seorang pemikir Kristen terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-Ghazali, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M). Aquinas merupakan filsuf yang kerap dibangga-banggakan peradaban Barat. Ia telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.


Perbedaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen, terletak pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filsuf metafisik non-Islam, seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan, Aquinas mengakomodasi buah pikir filsuf Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.


Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.


Sosok Al-Ghazali sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Baginya, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, melainkan komponen penting buat pembelajaran dirinya.


Filsafat dipelajar Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafat pun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain, Maqasid al-Falasifa (The Intentions of the Philosophers). Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang sangat termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifa (The Incoherence of the Philosophers).


Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan syariah. Konsep-konsep sufisme begitu baik dikawinkan sang pemikir legendaris ini dengan hukum-hukum syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritik aliran lainnya. Ia tertarik dengan sufisme sejak berusia masih belia.

Kehidupan Al-Ghazali


http://www.ghazali.org Dilahirkan di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia (Iran), pada tahun 450 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1058 Masehi. Al-Ghazali berasal dari keluarga ahli tenun (pemintal). Ayahnya adalah seorang pengrajin sekaligus penjual kain shuf (yang terbuat dari kulit domba) di Kota Thus.


Namun, sang ayah menginginkan Al-Ghazali kelak menjadi orang alim dan saleh. Karena itu, menjelang wafat, ayahnya mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, Sungguh, saya menyesal tidak belajar khath (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka, saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya, ungkapnya pada pengasuh Al-Ghazali dan saudaranya.


Imam Al-Ghazali memulai belajar di kala masih kecil dengan mempelajari Bahasa Arab dan Parsi hingga fasih. Karena minatnya yang mendalam terhadap ilmu, Al-Ghazali mulai mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fikih, dan filsafat. Selepas itu, ia berguru kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Radzakani di Kota Thus untuk mempelajari ilmu fikih. Kemudian, ia berangkat ke Jurjan untuk menuntut ilmu dengan Imam Abu Nashr Al-Isma’ili.


Selepas menuntut ilmu di Jurjan, Al-Ghazali pergi mengunjungi Kota Naisabur untuk berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini. Selama di Naisabur, ia berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafii, ilmu perdebatan, ushuluddin, mantiq, hikmah, dan filsafat. Selain itu, ia berhasil menyusun sebuah tulisan yang membuat kagum gurunya, Al-Juwaini.


Setelah sang guru wafat, Imam Al-Ghazali pergi meninggalkan Naisabur menuju ke majelis Wazir Nidzamul Malik. Majelis tersebut merupakan tempat berkumpulnya para ahli ilmu. Di sana, Al-Ghazali menantang debat para ulama dan berhasil mengalahkan mereka.


Lalu, karena ketinggian ilmu yang dimiliki Imam Al-Ghazali, Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah (sebuah perguruan tinggi yang didirikan oleh Nidzamul Malik) di Baghdad pada tahun 484 H. Saat itu, usia Al-Ghazali baru menginjak 30 tahun. Di sinilah, keilmuan Al-Ghazali makin berkembang dan menjadi terkenal serta mencapai kedudukan yang sangat tinggi.


Sebagai pimpinan komunitas intelektual Islam, Al-Ghazali begitu sibuk mengajarkan ilmu hukum Islam di madrasah yang dipimpinnya. Empat tahun memimpin Madrasah Nizamiyyah, Al-Ghazali merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Batinnya dilanda kegalauan. Ia merasa telah jatuh dalam krisis spiritual yang begitu serius. Al-Ghazali pun memutuskan untuk meninggalkan Baghdad.


Kariernya yang begitu cemerlang ditinggalkannya. Setelah menetap di Suriah dan Palestina selama dua tahun, ia sempat menunaikan ibadah Haji ke Tanah Suci, Makkah. Setelah itu, Al-Ghazali kembali ke tanah kelahirannya. Sang ulama pun memutuskan untuk menulis karya-karya serta mempraktikkan sufi dan mengajarkannya.


Apa yang membuat Al-Ghazali meninggalkan kariernya yang cemerlang dan memilih jalur sufisme? Dalam autobiografinya, Al-Ghazali menyadari bahwa tak ada jalan menuju ilmu pengetahuan yang pasti atau pembuka kebenaran wahyu kecuali melalui sufisme. Itu menandakan bahwa bentuk keyakinan Islam tradisional mengalami kondisi kritis pada saat itu.


Keputusan Al-Ghazali untuk meninggalkan kariernya yang cemerlang itu, sekaligus merupakan bentuk protesnya terhadap filsafat Islam. Al-Ghazali wafat di usianya yang ke-70 pada tahun 1128 M di kota kelahirannya, Thus. Meski begitu, pemikiran Al-Ghazali tetap hidup sepanjang zaman.


Karya-karya Sang Sufi


Selama masa hidupnya (70 tahun), Imam Al-Ghazali banyak menulis berbagai karya dalam sejumlah bidang yang dikuasainya. Mulai dari fikih, tasawuf (sufisme), filsafat, akidah, dan lainnya.


Dalam kitab Mauqif Ibn Taimiyyah min al-Asya’irah dan Thabawat Asy-Syafi’iyyah karya Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif. Sejumlah karyanya kini tersebar ke seluruh penjuru dunia.


Bidang Ushuluddin dan Akidah 1. Arba’in Fi Ushuliddin merupakan juz kedua dari kitabnya, Jawahir Alquran. 2. Qawa’id al-‘Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama. 3. Al Iqtishad Fil I’tiqad. 4. Tahafut Al Falasifah berisi bantahan Al-Ghazali terhadap pendapat dan pemikiran para filsuf, dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah. 5. Faishal At-Tafriqah Bayn al-Islam Wa Zanadiqah.


Bidang Usul Fikih, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf 1. Al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul 2. Mahakun Nadzar 3. Mi’yar al’Ilmi 4. Ma’arif al-`Aqliyah 5. Misykat al-Anwar 6. Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna 7. Mizan al-Amal 8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi 9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fi al-Masa1il Ukhrawiyah 10. Ma’arij al-Qudsi fi Madariji Ma’rifati An-Nafsi 11. Qanun At-Ta’wil 12. Fadhaih Al-Bathiniyah 13. Al-Qisthas Al-Mustaqim 14. Iljam al-Awam ‘An ‘Ilmi al-Kalam 15. Raudhah ath-Thalibin Wa Umdah al-Salikin 16. Ar-Risalah Al-Laduniyah 17. Ihya` Ulum al-din 18. Al-Munqidzu Min adl-Dlalal 19.Al-Wasith 20. Al-Basith 21. Al-Wajiz 22. Al-Khulashah 23. Minhaj al-‘Abidin


Masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali. Begitu banyak karya yang dihasilkan, menunjukkan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Ghazali. Ia merupakan pakar dan ahli dalam bidang fikih, namun menguasai juga tasawuf, filsafat, dan ilmu kalam. Sejumlah pihak memberikan gelar padanya sebagai seorang Hujjah al-Islam.


Ihya ‘Ulum al-Din; Magnum Opus Al-Ghazali


Ihya ‘Ulum al-Din Salah satu karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal di dunia adalah kitab Ihya` Ulum al-din. Kitab ini merupakan magnum opus atau masterpiece Al-Ghazali. Bahkan, kitab ini telah menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia dalam mempelajari ilmu tasawuf. Di dalamnya, dijelaskan tentang jalan seorang hamba untuk menuju ke hadirat Allah.


Saking luas dan dalamnya pembahasan ilmu tasawuf (jalan sufi) dalam karyanya ini, sejumlah ulama pun banyak memberikan syarah (komentar), baik pujian maupun komentar negatif atas kitab ini.


Syekh Abdullah al-Idrus Pasal demi pasal, huruf demi huruf, aku terus membaca dan merenunginya. Setiap hari kutemukan ilmu dan rahasia, serta pemahaman yang agung dan berbeda dengan yang kutemukan sebelumnya. Kitab ini adalah lokus pandangan Allah dan lokus rida-Nya. Orang yang mengkaji dan mengamalkannya, pasti mendapatkan mahabbah (kecintaan) Allah, rasul-Nya, malaikat-Nya, dan wali-wali-Nya.


Imam an-Nawawi “Jika semua kitab Islam hilang, dan yang tersisa hanya kitab al-Ihya`, ia dapat mencukupi semua kitab yang hilang tersebut.”


Imam ar-Razi “Seolah-olah Allah SWT menghimpun semua ilmu dalam suatu rapalan, lalu Dia membisikkannya kepada Al-Ghazali, dan beliau menuliskannya dalam kitab ini.”


Abu Bakar Al-Thurthusi “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasa`il Ikhwan ash-Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.”

Dinukil dari Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, 19/33

BEDAH BUKA "TEORI KERUNTUHAN TEORI BID'AH KAUM SALAFI-WAHABI"










                          

DALIL hadist yang sering disampaikan oleh Wahabi tidaklah salah, yang tidak tepat adalah tatkala menjadikan slogan bid'ah sebagai sebuah hukum dan menjadi alat untuk menggeneralisir setiap bid'ah adalah sesat. Mengapa tidak tepat? Sebab Wahabi menggunakan hadis-hadis tentang bid'ah tidak berdasarkan pada konsensus atau ijma' ulama, melainkan berdasarkan penafsiran sendiri.

Ulama Wahabi dan pengikutnya setahu saya tidak ada yang bergelar al-Hafidz sebagaimana ulama-ulama kami terdahulu yang telah menyusun ilmu ilmu hadis. Maka dalam masalah hadis kita harus merujuk kepada para ahlinya, seperti al-Hafidz Ibnu Hajar asy-Syafi'i, al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafii, Imam Nawawi asy-Syafi'i, al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi'i dan ulama ahli hadis lainnya yang bergelar al-Hafidz.

Saya berkeyakinan bahwa gerakan yang kerap membid'ahkan dan menyesatkan umat Islam tidak akan berkembang menjadi mayoritas dalam Islam. Sebab, kelompok yang suka menyesatkan justru ciri khas Khawarij.

silahkan baca selengkapnya:

Judul Buku: Keruntuhan TEORI BID'AH Kaum Salafi

Berdasarkan Kajian Komprehensif Ulama Ahli Hadis

Penerbit: Bina Aswaja.

Oleh: Ustadz M. Ma'ruf Khozin

BIOGRAFI KH MAKSUM JAUHARI LIRBOYO-KEDIRI

Biografi KH Maksum Jauhari




 
Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji. Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah pendekar pilih tanding. 
Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren. Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.
Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.
Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985 berkumpullah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon, bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.
Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “Pagar Nusa” yang merupakan kepanjangan dari “Pagarnya NU dan Bangsa.” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ahmad Sidiq.
Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadugan (Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista Surabaya).
Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.
Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.
Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa. (NU Online)

MBAH DALHAR WATUCONGOL

MBAH DALHAR WATUCONGOL Kiai Pedakwah dan Pejuang Kemerdekaan




Ia memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan R.

Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.

Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.

Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.

Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.

Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf.

Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.

Nama “Dalhar
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya.

Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.

Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa.

Karya Mbah Kiai Dalhar 
Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah.

Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sekalipun jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang terbilang mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menuju kawasan Gunung Pring.

Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara. (Aji Setiawan/Anam)

PROFIL PT NATURAL NUSANTARA (NASA) -LQ


Profil PT Natural Nusantara (NASA)



PT Natural Nusantara
Alamat PT Natural Nusantara :
Jl. Ring Road Barat no 72 Salakan, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogjakarta.
Call Center. 0274-6499191, Fax. 0274-6499192
Website: www.naturalnusantara.co.id

Sekilas Tentang PT Natural Nusantara
PT. Natural Nusantara (NASA) berdiri sejak Oktober 2002 di Yogyakarta. Sejak lahir, PT. Natural Nusantara memiliki visi ” Menuju Indonesia Makmur Raya Berkeadilan” berkomitmen untuk bergerak memajukan agrokomplek. Mengingat Indonesia sebagai negara luas, agraris dan mayoritas masyarakat terjun di dunia agro-dalam artian luas.

Foto Kantor Pusat PT Natural Nusantara

Agro kompleks (Pertanian, Peternakan, Perikanan) adalah bidang yang menyangkut makhluk hidup dan lingkungan sehingga pengelolaannya harus bijaksana dan memperhatikan semua aspek terkait diantaranya aspek obyeknya sendiri (tanaman, hewan dan ikan), aspek lingkungan dan aspek manusia (petani dan konsumen). Dengan demikian apapun teknologi yang dipergunakan pada agro kompleks harus memenuhi syarat K-3 :
1.Kuantitas
Mampu menaikkan produktivitas (bobot panen meningkat)
Kualitas
2.Mampu menaikkan kualitas (rasa, aroma, warna, rendemen, keawetan hasil panen, rendah atau bebas dari senyawa-senyawa yang berbahaya bagi kesehatan
Kelestarian
3.Mampu menjaga kelestarian lingkungan sehingga secara jangka panjang produktivitas tetap terjaga dan tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran.

PT Natural Nusantara memiliki cabang-cabang untuk pendistribusian produk-
produknya dalam bentuk Stockist Nasa sebagai pusat informasi dan distribusi barang bagi para Distributor PT Natural Nusantara. 
Distributor Nasa inilah yang menjadi ujung tombak perusahaan dalam memasarkan produknya ke konsumen.
Untuk info lebih lanjut tentang produk herbal pt natural nusantara silakan Hubungi Nomor Dibawah Ini :
                                                                                                                            
Triningsih herbalis
SMS/TELP : 087710258097 / 081390593165 / 085870193010
WA             : 0895333093033 / 081215686741
Fb               :  triningsih.triningsih.733@gmail.com
Pin bb          : 5973CB9E / D41AB39B

>> BERIKUT BEBERAPA PRODUK PT NASA:
Pupuk Organik
Pestisida Organik
Produk Peternakan
Produk Perikanan
Produk Kesehatan
Produk Perawatan Tubuh
Produk Rumah Tangga
Produk Paket Distributor

BERHENTINYA ADZAN DI LANGIT ANDALUSIA





Berhentinya Adzan Di Langit Andalusia lirboyo.net

Oleh: M. Khoirul Wava

Bumi Andalusia, secara etimologis nama ini punya kaitan dengan kaum Vandal, orang-orang yang sudah lebih dulu menghuni semenanjung Eropa Barat jauh sebelum orang-orang Arab. Tanah taklukan ini sempat bersinar oleh cahaya Islam, dimana pada masa jayanya, ketika tiba waktu salat, suara adzan akan datang bersahut-sahutan silih berganti di seluruh penjuru negeri. Andalusia memancarkan kharisma dan panorama Islam, yang hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Andalusia, terutama kota Cordova, kotanya penulis tafsir kenamaan Islam, tafsir Qurthuby, memiliki reputasi yang maju. Hampir semua orang di kota itu bisa membaca.

Emirat Ummayah yang “didirikan” oleh Abd Al-Rahman Al-Dakhil mampu bertahan sekitar dua tiga perempat abad. Melalui perjuangan penuh, perlahan-lahan seluruh daerah bersatu. Prestasi yang gemilang dan menggembirakan, karena Islam mampu menunjukkan bahwa kemenangan selalu berpihak kepadanya. Namun patut disayangkan, seiring berjalannya waktu, akibat intrik, satu demi satu provinsi-provinsi yang ada mulai lepas dari kekuasaan sang Amîr.
Pada masa kepemimpinan Amîr ke delapan, Abd Al-Rahman III, Andalusia berdiri diatas angin. Ia mencapai puncak kejayaan epos Arab di semenanjung itu. Cordova memperoleh reputasi sebagai ibukota maju dan “tiada tara” untuk sebuah wilayah yang disatukan dengan susah payah. Menguntit saingan ketatnya di timur, Baghdad. Abd Al-Rahman III yang naik tahta di usa belia, dua puluh tiga tahun, mampu membuktikan prestisenya sebagi pemimpin yang cakap, punya keteguhan hati, dan kejujuran. Padahal dia mendapat “warisan” negeri yang sedang terpuruk. Kekuasaan Emirat Ummayah kala itu hanya tersisa kota Cordova dan sekitarnya. Namun pahlawan sejati ini mampu tampil menyatukan kembali provinsi-provinsi yang hilang ke dalam kekuasaan yang absolut. Dalam setengah abad kepemimpinannya, wilayah kekuasaan Emirat Ummayah semakin meluas ke beragam penjuru.

Sukses mengatasi problem politik, Abd Al-Rahman III mulai membangun kotanya, dilanjutkan dua penerusnya, Al-Hakam II dan Al-Hajib Al-Manshur, Emirat Ummayah mencapai masa kejayaan di tiga periode ini. Masa supremasi muslim atas bumi Andalusia yang “belum dapat diulang” kembali sampai sekarang. Kita tentu membayangkan, ada di Cordova pada masa Al-Hakam II seribu tahun yang lalu, sama dengan ketika saat ini kita ada di Madinah Al-Munawwaroh. Dimana kita bisa melihat lambang bulan sabit ada dimana-mana. Dan kita bisa melihat suasana kental negara muslim. Bedanya, di sana sesekali akan turun salju dan di Madinah tak pernah ada salju. Suasana pasar muslim yang meriah, juga aktivitas keilmuwan di Masjid Agung Cordova, Mezquita yang mirip dengan halaqoh pengajian-pengajian di Masjid Nabawi saat ini. Diceritakan, Cordova pada masa keemasannya menjadi kota paling berbudaya bukan hanya di wilayah Andalusia saja, namun di seluruh Eropa. Bersama Konstantinopel dan Baghdad, Cordova menjadi pusat kebudayaan dunia. Setidaknya ada 130.000 rumah, tujuh puluh tiga perpustakaan, banyak toko buku, masjid dan istana. Cordova memiliki bermil-mil jalan yang rata disinari lampu-lampu dari rumah-rumah di pinggirannya. Padahal, tujuh abad setelah ini, London “hanya” punya satu lampu umum. Dan di Paris berabad-abad kemudian, orang yang keluar rumah saat hujan turun akan terjebak dalam banjir kubangan lumpur setinggi pergelangan kaki. Para penguasa di luar kota yang membutuhkan penjahit, penyanyi, arsitek, bahkan ahli bedahpun akan menuju kota ini. Kemasyhuran Cordova sebagai ibukota bahkan menembus telinga orang-orang Jerman. Hingga ada yang menjulukinya “permata dunia”.

Keagungan sejati terpancar dalam keilmuwan, ketika Al-Hakam II membangun dua puluh tujuh sekolah gratis di sana. Didorong oleh rasa cintanya pada ilmu pengetahuan, dia juga membangun perpustakaan raksasa. Setidaknya ada 400.000 judul buku yang dikoleksi. Ada yang merupakan hasil perburuan para karyawannya yang menjelajah jauh sampai ke Iskandariah, Damaskus, dan Baghdad. Dibawah naungannya, Universitas Cordova yang mulai dirintis oleh Abd Al-Rahman III semakin hidup dan berkembang meraih keunggulan diantara lembaga-lembaga pendidikan lain di seluruh dunia. Mendahului Universitas Al-Azhar di Kairo dan Universitas Nidzâmiyyah di Bahgdad. Bertempat di Mezqiuta, pelajarnya bukan hanya dari kalangan muslim, bahkan pelajar non muslimpun turut “mengadu nasib”. Profesor-profesor dari timur diundang dan digaji di sana. Mezquita, masjid yang luar biasa indah ini, benar-benar menyaksikan Emirat Ummayah di Andalusia yang menggeliat sejak awal, hingga akhirnya tenggelam. Mezquita masih kokoh berdiri hingga kini, konon sebagai satu-satunya simbol Islam yang tersisa di sana, dan sebagai saksi bisu, atas jejak peradaban Islam di Eropa.

Namun zaman kemudian berganti, seiring berakhirnya periode kepemimpinan Al-Hâjib Al-Manshûr, pengaruh Islam mulai “redup” dibawah pemimpin-pemimpin lain yang kurang cakap menggantikannya. Dalam waktu dua puluh satu tahun saja, konon beberapa khalifah silih berganti dinaik-turunkan. Negeri semakin kacau dan carut marut, perebutan kekuasaan tak terelakkan. Adalah Ali bin Hammud, pendiri dinasti Hammudiyyah yang mengklaim diri sebagai khalifah penguasa Cordova menggulingkan Emirat Ummayah. Dan ketika Hisyam III dari Dinasti Ummayah berhasil merebut kembali kekuasaan Emirat Ummayah, keadaan sudah semakin kacau. Emirat Ummayah tak terselamatkan lagi. Sistim kekhalifahan yang dihapus pada masa itu menandai berakhirnya kejayaan Emirat Ummayyah di Andalusia.

Islam belum “hilang” meski Emirat Ummayyah runtuh. Karena menyusul kemudian, bangkit dari puing-puing nama besar Ummayah, muncul beberapa negara-negara kecil. Seperti Dinasti Murabbitun dan Muwahhidun. Namun alih-alih kembali bersatu untuk membentuk kepemimpinan tunggal, negeri-negeri kecil ini justru terus menerus bertikai dalam perang saudara. Setelah sebagian mereka akhirnya kalah, mereka sadar musti menghadapi musuh “yang lebih kuat”, penguasa Kristen di utara yang mulai bangkit. Ada Kerajaan Kristen Castille dan Aragon, dua kerajaan yang berbeda dan menjadi musuh bersama. Namun ketika akhirnya dua kerajaan Kristen ini bersatu, “lonceng kematian” bagi negara-negara muslim kecil menggema.

Ketika Granada akhirnya direbut tahun 1492 M, salib akhirnya menggantikan bulan sabit di menara-menara kota itu. Bencana selanjutnya adalah ketika Dekrit kerajaan mengharuskan orang-orang muslim pindah agama. Jika tidak, mereka harus angkat kaki dari Andalusia untuk selama-lamanya. Bahasa, intuisi, peribadatan, dan cara hidup muslim harus ditinggalkan. Perintah pengusiran terakhir tahun 1609 M  mengakibatkan deportase besar-besaran, hampir seluruh penduduk muslim keluar dari bumi Andalusia. Mereka mendarat di Afrika, atau berpetualang lebih jauh dengan kapal-kapal. Saat itu, mereka yang hidup di sana akan sangat merindukan, ketika Islam mencapai masa supremasinya. Adzan melengking di langit Andalusia, dengan suara yang bersahut-sahutan. Namun bukannya sejarah yang kurang berpihak, apalagi menyalahkannya, salah siapa tidak terdengar lagi Adzan di bumi Andalusia? Di sana Islam pernah jaya seperti matahari, namun kemudian muncul gerhana yang tak kunjung hilang hingga kini.

Pada akhirnya, kadang kita bertanya, ketika kita memimpin suatu komunitas yang kacau. “Apa yang harus aku lakukan?” Sebagai penanggung jawab penuh yang gagal membawa apa yang kita pimpin menuju cita-cita. Kesalahan ini berakar kadang pada kita sendiri. Pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan, akan membawa rakyatnya menuju masyarakat terpelajar. Pemimpin yang kuat, akan membawa masyarakatnya bersatu. Namun pemimpin yang gagal memimpin dirinya sendiri, akan membawa masyarakatnya menuju “kepastian”. Pasti tak sepeti yang dia harapkan. Sebelum menyalakan komunitas yang kita pimpin, sudahkah menyadari siapa yang perlu introspeksi diantara kita ataukah mereka