KH. Abdul Karim ( 1856 – 1954 )
KH. Abdul Karim lahir tahun 1856 M di desa Diyangan,
Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, dari pasangan Kiai Abdur Rahim
dan Nyai Salamah. Manab adalah nama kecil beliau dan merupakan putra ketiga
dari empat bersaudara. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melanglang buana
dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau berangkat bersama sang kakak (Kiai
Aliman).
Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di desa
Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah
Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun.
Setalah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri,
Kertosono, Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu
Al-Quran. Lalu beliau melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur
Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7 tahun
lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya beliau nyantri di
Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, beliau
kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu pesantren besar di pulau
Madura, asuhan ulama’ kharismatik; Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama
beliau menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.
Pada usia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian
ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat
karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada akhirnya
KH. Hasyim Asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kiai Sholeh dari
Banjarmelati Kediri, pada tahun1328 H/ 1908 M.
KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH.
Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH.
Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang
bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren
Lirboyo.
Kemudian pada tahun 1913 M, KH. Abdul karim mendirikan
sebuah masjid di tengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana
ta’lim wa taalum bagi santri.
Secara garis besar KH. Abdul karim adalah sosok yang
sederhana dan bersahaja. Beliau gemar melakukan riyadlah; mengolah jiwa atau
tirakat, sehingga seakan hari-hari beliau hanya berisi pengajian dan tirakat.
Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan
ibadah haji yang kedua kalinya -sebelumnya beliau melaksanakan ibadah haji pada
tahun 1920-an- kondisi kesehatan beliau sudah tidak memungkinkan, namun karena
keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan
ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang
dermawan asal Madiun H. Khozin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar