Oleh: M. Khoirul Wava
Bumi Andalusia, secara etimologis nama ini punya kaitan dengan kaum
Vandal, orang-orang yang sudah lebih dulu menghuni semenanjung Eropa
Barat jauh sebelum orang-orang Arab. Tanah taklukan ini sempat bersinar
oleh cahaya Islam, dimana pada masa jayanya, ketika tiba waktu salat,
suara adzan akan datang bersahut-sahutan silih berganti di seluruh
penjuru negeri. Andalusia memancarkan kharisma dan panorama Islam, yang
hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Andalusia, terutama kota Cordova,
kotanya penulis tafsir kenamaan Islam, tafsir Qurthuby, memiliki
reputasi yang maju. Hampir semua orang di kota itu bisa membaca.
Emirat Ummayah yang “didirikan” oleh Abd Al-Rahman Al-Dakhil mampu
bertahan sekitar dua tiga perempat abad. Melalui perjuangan penuh,
perlahan-lahan seluruh daerah bersatu. Prestasi yang gemilang dan
menggembirakan, karena Islam mampu menunjukkan bahwa kemenangan selalu
berpihak kepadanya. Namun patut disayangkan, seiring berjalannya waktu,
akibat intrik, satu demi satu provinsi-provinsi yang ada mulai lepas
dari kekuasaan sang Amîr.
Pada masa kepemimpinan Amîr ke delapan, Abd Al-Rahman III,
Andalusia berdiri diatas angin. Ia mencapai puncak kejayaan epos Arab di
semenanjung itu. Cordova memperoleh reputasi sebagai ibukota maju dan
“tiada tara” untuk sebuah wilayah yang disatukan dengan susah payah.
Menguntit saingan ketatnya di timur, Baghdad. Abd Al-Rahman III yang
naik tahta di usa belia, dua puluh tiga tahun, mampu membuktikan
prestisenya sebagi pemimpin yang cakap, punya keteguhan hati, dan
kejujuran. Padahal dia mendapat “warisan” negeri yang sedang terpuruk.
Kekuasaan Emirat Ummayah kala itu hanya tersisa kota Cordova dan
sekitarnya. Namun pahlawan sejati ini mampu tampil menyatukan kembali
provinsi-provinsi yang hilang ke dalam kekuasaan yang absolut. Dalam
setengah abad kepemimpinannya, wilayah kekuasaan Emirat Ummayah semakin
meluas ke beragam penjuru.
Sukses mengatasi problem politik, Abd Al-Rahman III mulai membangun
kotanya, dilanjutkan dua penerusnya, Al-Hakam II dan Al-Hajib
Al-Manshur, Emirat Ummayah mencapai masa kejayaan di tiga periode ini.
Masa supremasi muslim atas bumi Andalusia yang “belum dapat diulang”
kembali sampai sekarang. Kita tentu membayangkan, ada di Cordova pada
masa Al-Hakam II seribu tahun yang lalu, sama dengan ketika saat ini
kita ada di Madinah Al-Munawwaroh. Dimana kita bisa melihat lambang
bulan sabit ada dimana-mana. Dan kita bisa melihat suasana kental negara
muslim. Bedanya, di sana sesekali akan turun salju dan di Madinah tak
pernah ada salju. Suasana pasar muslim yang meriah, juga aktivitas
keilmuwan di Masjid Agung Cordova, Mezquita yang mirip dengan halaqoh
pengajian-pengajian di Masjid Nabawi saat ini. Diceritakan, Cordova pada
masa keemasannya menjadi kota paling berbudaya bukan hanya di wilayah
Andalusia saja, namun di seluruh Eropa. Bersama Konstantinopel dan
Baghdad, Cordova menjadi pusat kebudayaan dunia. Setidaknya ada 130.000
rumah, tujuh puluh tiga perpustakaan, banyak toko buku, masjid dan
istana. Cordova memiliki bermil-mil jalan yang rata disinari lampu-lampu
dari rumah-rumah di pinggirannya. Padahal, tujuh abad setelah ini,
London “hanya” punya satu lampu umum. Dan di Paris berabad-abad
kemudian, orang yang keluar rumah saat hujan turun akan terjebak dalam
banjir kubangan lumpur setinggi pergelangan kaki. Para penguasa di luar
kota yang membutuhkan penjahit, penyanyi, arsitek, bahkan ahli bedahpun
akan menuju kota ini. Kemasyhuran Cordova sebagai ibukota bahkan
menembus telinga orang-orang Jerman. Hingga ada yang menjulukinya
“permata dunia”.
Keagungan sejati terpancar dalam keilmuwan, ketika Al-Hakam II
membangun dua puluh tujuh sekolah gratis di sana. Didorong oleh rasa
cintanya pada ilmu pengetahuan, dia juga membangun perpustakaan raksasa.
Setidaknya ada 400.000 judul buku yang dikoleksi. Ada yang merupakan
hasil perburuan para karyawannya yang menjelajah jauh sampai ke
Iskandariah, Damaskus, dan Baghdad. Dibawah naungannya, Universitas
Cordova yang mulai dirintis oleh Abd Al-Rahman III semakin hidup dan
berkembang meraih keunggulan diantara lembaga-lembaga pendidikan lain di
seluruh dunia. Mendahului Universitas Al-Azhar di Kairo dan Universitas
Nidzâmiyyah di Bahgdad. Bertempat di Mezqiuta, pelajarnya bukan hanya
dari kalangan muslim, bahkan pelajar non muslimpun turut “mengadu
nasib”. Profesor-profesor dari timur diundang dan digaji di sana.
Mezquita, masjid yang luar biasa indah ini, benar-benar menyaksikan
Emirat Ummayah di Andalusia yang menggeliat sejak awal, hingga akhirnya
tenggelam. Mezquita masih kokoh berdiri hingga kini, konon sebagai
satu-satunya simbol Islam yang tersisa di sana, dan sebagai saksi bisu,
atas jejak peradaban Islam di Eropa.
Namun zaman kemudian berganti, seiring berakhirnya periode
kepemimpinan Al-Hâjib Al-Manshûr, pengaruh Islam mulai “redup” dibawah
pemimpin-pemimpin lain yang kurang cakap menggantikannya. Dalam waktu
dua puluh satu tahun saja, konon beberapa khalifah silih berganti
dinaik-turunkan. Negeri semakin kacau dan carut marut, perebutan
kekuasaan tak terelakkan. Adalah Ali bin Hammud, pendiri dinasti
Hammudiyyah yang mengklaim diri sebagai khalifah penguasa Cordova
menggulingkan Emirat Ummayah. Dan ketika Hisyam III dari Dinasti Ummayah
berhasil merebut kembali kekuasaan Emirat Ummayah, keadaan sudah
semakin kacau. Emirat Ummayah tak terselamatkan lagi. Sistim
kekhalifahan yang dihapus pada masa itu menandai berakhirnya kejayaan
Emirat Ummayyah di Andalusia.
Islam belum “hilang” meski Emirat Ummayyah runtuh. Karena menyusul
kemudian, bangkit dari puing-puing nama besar Ummayah, muncul beberapa
negara-negara kecil. Seperti Dinasti Murabbitun dan Muwahhidun. Namun
alih-alih kembali bersatu untuk membentuk kepemimpinan tunggal,
negeri-negeri kecil ini justru terus menerus bertikai dalam perang
saudara. Setelah sebagian mereka akhirnya kalah, mereka sadar musti
menghadapi musuh “yang lebih kuat”, penguasa Kristen di utara yang mulai
bangkit. Ada Kerajaan Kristen Castille dan Aragon, dua kerajaan yang
berbeda dan menjadi musuh bersama. Namun ketika akhirnya dua kerajaan
Kristen ini bersatu, “lonceng kematian” bagi negara-negara muslim kecil
menggema.
Ketika Granada akhirnya direbut tahun 1492 M, salib akhirnya
menggantikan bulan sabit di menara-menara kota itu. Bencana selanjutnya
adalah ketika Dekrit kerajaan mengharuskan orang-orang muslim pindah
agama. Jika tidak, mereka harus angkat kaki dari Andalusia untuk
selama-lamanya. Bahasa, intuisi, peribadatan, dan cara hidup muslim
harus ditinggalkan. Perintah pengusiran terakhir tahun 1609 M
mengakibatkan deportase besar-besaran, hampir seluruh penduduk muslim
keluar dari bumi Andalusia. Mereka mendarat di Afrika, atau berpetualang
lebih jauh dengan kapal-kapal. Saat itu, mereka yang hidup di sana akan
sangat merindukan, ketika Islam mencapai masa supremasinya. Adzan
melengking di langit Andalusia, dengan suara yang bersahut-sahutan.
Namun bukannya sejarah yang kurang berpihak, apalagi menyalahkannya,
salah siapa tidak terdengar lagi Adzan di bumi Andalusia? Di sana Islam
pernah jaya seperti matahari, namun kemudian muncul gerhana yang tak
kunjung hilang hingga kini.
Pada akhirnya, kadang kita bertanya, ketika kita memimpin suatu
komunitas yang kacau. “Apa yang harus aku lakukan?” Sebagai penanggung
jawab penuh yang gagal membawa apa yang kita pimpin menuju cita-cita.
Kesalahan ini berakar kadang pada kita sendiri. Pemimpin yang mencintai
ilmu pengetahuan, akan membawa rakyatnya menuju masyarakat terpelajar.
Pemimpin yang kuat, akan membawa masyarakatnya bersatu. Namun pemimpin
yang gagal memimpin dirinya sendiri, akan membawa masyarakatnya menuju
“kepastian”. Pasti tak sepeti yang dia harapkan. Sebelum menyalakan
komunitas yang kita pimpin, sudahkah menyadari siapa yang perlu
introspeksi diantara kita ataukah mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar