SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Senin, 22 Februari 2016

KH.Q. AHMAD SYAHID, GUS DUR, DAN KEBENCIAN YANG REMUK


KH.Q. AHMAD SYAHID, GUS DUR, DAN KEBENCIAN YANG REMUK


 



Sekitar tahun 2002, saya menjadi seorang Santri di Pondok Pesantren Al-Falah Bandung yang diasuh KH. Q. Ahmad Syahid. Waktu itu para santri biasa memanggil beliau dengan sebutan ‘Ayah’. Di pesantren ini, saya sekolah Tsanawiyah.

Salah satu kawan saya, Ari namanya, merupakan pelanggan majalah Islam Sabili selama di pondok. Tak jarang saya membaca majalah itu setelah dirinya selesai. Ada dua isu besar yang selalu diangkat majalah tersebut: Penegakkan Syaria’t Islam dan Gus Dur. Karena saya tidak tertarik tentang Syari’at Islam ala Sabili, maka berita Gus Dur menjadi fokus saya waktu itu.

Sedikit demi sedikit, untuk pertama kalinya, kebencian kepada seorang manusia tumbuh dalam diri saya, dan semakin lama kebencian itu semakin menegas. Kepada siapa saya benci? Kepada Gus Dur. Siapa penyebabnya? Majalah Islam Sabili.

Di tengah kegiatan saya membaca al-Qur’an dan mengaji Kitab Kuning, kebencian saya kepada Gus Dur begitu mengkristal. Dia adalah Kyai yang membela kemaksiatan, Kyai yang murtad karena sudah dibaptis masuk Kristen, Kyai yang mendukung pemurtadan, Kyai yang menyebabkan terbunuhnya para Kyai di Jawa, Kyai yang membuat orang Islam di Poso dipenggal dan dibunuh. Semua isu itu diulang-ulang majalah Sabili pada banyak edisi. Saya sungguh percaya. Dan kepercayaan itu saya wujudkan dengan penghinaan serta cacian, “Di Neraka nanti, Gus Dur adalah pemimpin para Kyai yang sebenarnya busuk dan munafik.!”

Keterkejutan saya tiba, ketika Ayah mengadakan pengajian bersama Gus Dur di Pondok. Para Ustadz dan Kyai-kyai kampung sekitar pondok diundangnya. “Kenapa Ayah mengundang Kyai edan itu? Biar semua santri dan masyarakat menjadi sesat seperti dirinya?” Diam-diam hati saya mengutuk keputusan Ayah.

Tapi tak bisa dipungkiri, selain kutukan yang saya lemparkan, ada kepenasaran yang lahir diam-diam. Setahu saya, Ayah adalah Kyai kharismatik, begitu indah perangainya, sangat luas ilmunya, dan selalu berhati-hati dalam memilih kawan. Lalu bagaimana mungkin Ayah menjadikan Kyai edan semacam Gus Dur sebagai kawan? Bahkan sesekali kudengar, Ayah menyebut Gusdur sebagai Guru. Walah bahaya. Siapa yang harus kupercaya dalam menilai Gus Dur? Majalah Sabili yang tak pernah kutemui orang-orang di baliknya? Atau Ayah yang setiap hari mengajariku dan mengasuhku di Pesantren?

Ah, pertanyaan dalam diriku tentang siapa sebenarnya Gus Dur, rupanya tak terjawab sampai aku meninggalkan Pondok Pesantren al-Falah dan menyelesaikan Aliyah di al-Musaddadiyah Garut. Sedangkan kebencian dan kepenasaranku pada Gus Dur, tetap mengendap, tak terendus, tak terlihat, membasahi palung ingatan.

Ketika keilmuan saya bertambah matang, dan hati nurani telah mampu ‘mempertimbangkan’, benci pada Gusdur akhirnya remuk, bahkan mewujud menjadi rindu dan cinta. Bagaimana proses ‘perpindahan rasa’ itu terjadi? Lain kali akan saya ceritakan. Sedangkan Ari sendiri, teman saya yang pelanggan majalah Sabili itu, sudah tak berhasrat menegakkan Syariat Islam yang dipropagandakan majalah Sabili, melainkan telah menjadi Bobotoh Sejati PERSIB.

“Nak, dalam memahami sesuatu, gunakanlah pengetahuanmu. Perasaan benci dan cinta, singkirkanlah terlebih dahulu.!” Kata-kata ini diucapkan Ayah (KH.Q. Ahmad Syahid) dalam mimpiku. Kami bertemu di sebuah tempat yang entah dimana. Dan ketika bangun tidur, tubuhku menggigil, keringatku menderas, terpana aku oleh pesan Ayah ini.

Mimpi itu terjadi ketika aku kuliah di UIN Bandung, dan baru semester 2.

Siapa yang tak bahagia, ditemui oleh Guru yang amat dihormatinya dalam ruang yang tak terduga: alam mimpi. Pesan Ayah itu menggedor kesadaranku, menulusup pada kedirianku yang paling dalam. Bahkan ajaibnya, benciku pada Gus Dur seketika remuk. Ya, benci yang mengkristal selama bertahun-tahun itu rubuh. Pecah dan meledak. Meski aku belum mengetahui, apakah aku akan jatuh cinta padanya.

Kebencianku pada Cucu Mbah Hasyim Asy’ari itu, membenam di dada saat aku masih kecil, saat segala informasi dengan mudah kutelan dan kuterima. Tapi hari ini, aku sudah besar, sudah memiliki gelar Mahasiswa, dan sudah semestinya aku memahami sesuatu dengan pengetahuan dan ilmu. Dan Ayah lah yang menyadarkanku akan hal itu.

Penelusuranku tentang pemikiran Gus Dur dimulai.

Pemikiran Gus Dur yang pertama kujelajahi adalah, kenapa ia selalu ada digaris depan untuk membela orang-orang yang dinyatakan ‘bersalah’ oleh kebanyakan orang? Terutama mereka yang dinilai melanggar keadaban orang Muslim. Goyang Inul, misalnya, ketika banyak orang Islam yang menghujat penyanyi asal pasuruan itu, Gus Dur lah yang paling terang-terangan menyodorkan tangannya untuk memberi perlindungan padanya. Apakah itu disebabkan Gus Dur mendukung tingkah laku Inul? Tidak.! Tidak seperti itu yang kulihat. Bagiku, Gus Dur adalah ‘jalan terakhir’ dalam konsep Dakwah yang termaktub di Surat Al-Ashr. Ketika semua orang menghujat Inul dengan Ayat Tuhan, melemparinya dengan berbagai bentuk ‘Watawa saubil haqqi’, Gus Dur lah yang menjadi wujud terciptanya ‘Watawa saubis Shabri’. Kesabaran dalam menemani dan membimbing, agar Inul sebagai objek dakwah, satu ketika akan menerima apa yang disebut ‘Hidayah’. Gus Dur seolah menyadari, bahwa turunnya Hidayah Allah tak semudah terlemparnya ayat dari seorang Da’i kepada Mad’unya. Harus ada kesabaran, harus ada proses menemani. Harus.! Dan kasus semacam ini dalam perjalanan Gus Dur tidaklah sedikit.

Pemikiran Gus Dur selanjutnya yang terendus olehku adalah, tentang pembaptisannya di sebuah Gereja. Ini yang dulu paling membuatku muak. Kenapa seorang Kyai mau-maunya masuk ke tempat ibadah orang lain, bahkan didoa’kan oleh banyak orang dengan nama Bapak, Yesus, dan Bunda Maria. “Itu murtad.!” Teriakku saat itu ketika melihat rekaman Videonya. Tapi rupanya, ada hal penting yang kulupakan, bahwa peristiwa itu terjadi saat Gus Dur sedang menjadi Kepala Negara. Ini artinya, dia bukan hanya milik orang Islam, tapi semua masyarakat Indonesia. Tak peduli dengan adat atau Agama yang berbeda, dirinya harus tetap berlaku adil, semuanya harus dipandang dalam martabat yang sama. Masalah tentang Do’a umat Kristiani untuk Gus Dur itu, yang digelincirkan oleh majalah Sabili sebagai praktik ‘Pembaptisan’, akhirnya hanya ditertawakan oleh Gus Dur. Bagaimana tidak? Bagi Gus Dur, agama itu letaknya di hati, dan Tuhanlah yang menghakimi. “Kalau saya shalat, puasa, zakat, naik haji, tapi jika hanya pura-pura? Kan batal semua. Nah para pendeta itu tidak hafal dengan Isi hati saya.” Ungkap Gus Dur kepada sahabatnya Cak Nun.

“Al-Qur’an adalah kitab paling Porno..” Kalimat Gus Dur ini menjadi sesuatu yang saya telusuri selanjutnya. Gara-gara ungkapan ini, Gus Dur dihakimi habis-habisan oleh banyak orang Islam. Dia dituduh telah menghina al-Qur’an, mencaci Agama, dan melecehkan Pembuatnya, yakni Allah. Karena Porno berkonotasi negatif, tentu itu tak pantas jika disandingkan dengan al-Qur’an yang suci. Kemudian saya bertemu dengan bukunya Muhammad Guntur Romli yang berjudul, ‘Ustadz, Saya Sudah Di Surga’. Di buku ini lah, saya mendapatkan ungkapan Gus Dur tentang porno itu secara lengkap dan utuh. Guntur Romli kebetulan waktu itu menemani Gus Dur dalam sebuah acara kongkow, di tengah acara Gus Dur bilang, “Seandainya ada orang yang pikirannya ngeres, tentu dia akan bilang bahwa AL-QUR’AN KITAB PALING PORNO. Karena di dalamnya ada pembicaraan tentang menyusui.”. Lihatlah, kata-kata Gus Dur ditebas sedemikian rupa. Hingga akhirnya, kalimat yang sebenarnya merupakan ‘Pengandaian’, dipropagandakan sebagai ‘Statmen Penghinaan’. Ah, aku sangat mengerti, kehancuran yang diakibatkan oleh ‘mengutip’ setengah-setengah semacam ini.

“Gitu aja kok repot.” Bagiku, kalimat yang menjadi khas Gus Dur ini, adalah puncak dari semua pemikirannya. Mungkin bagi Kyai yang senang bersilaturahmi kepada para Ulama ini, segala yang terjadi di dunia ini adalah sederhana, tak ada satu pun peristiwa yang boleh membuat dirinya repot, tak ada satu pun kejadian yang boleh mengusik hatinya untuk dzalim, menindas, mengasingkan, menghina, menghujat, dan berlaku tidak adil kepada sesama manusia. Itulah yang membuat Gus Dur tetap ‘kalem’ meski dicaci sedemikian rupa.

Berbeda dengan kita, yang terkadang terlalu ‘Baper’ pada banyak peristiwa yang mendatangi, sehingga kehidupan ini dipandang sebagai kerepotan-kerepotan yang seolah tak akan selesai. Harus kuakui, kalimat “Gitu aja kok repot” yang membuat cintaku kepada Gus Dur mulai berdetak, menjelma diam-diam. Karena orang yang telah menganggap ‘hidup bukanlah kerepotan’, adalah dia yang telah lulus dalam pertengkaran yang mengerikan dengan dirinya sendiri. Dan orang semacam itu sangat pantas kuhaturkan cinta.

Begitu banyak pemikiran Gus Dur yang kutemui dalam perjalananku menuju ‘Rindu’ dan ‘Cinta’, yang tak bisa dituliskan dalam catatan sederhana ini. Bukan karena tak ada waktu dan tak becus mengungkapkannya, tapi aku sudah sangat rindu menggendong anakku yang masih kecil. Sabda. Dia menangis terus.

Yang amat kusyukuri dalam hubunganku dengan Gus Dur, adalah pertemuanku dengan Ayah pada sebuah mimpi, seraya memberi pesan yang begitu berharga bagi seorang pembelajar sepertiku. Akan kukirim do’aku pada kedua Kyai itu melalui hening dan diam. Dan dalam diam itu, biarlah kukenang kembali apa yang pernah disabdakan Muhammad Sang Nabi Agung berabad-abad lalu, “Manusia itu cenderung membenci sesuatu yang tak dia ketahui.”

Pada mulanya adalah benci, kemudian menjadi cinta, lalu menjelma menjadi rindu. Itu yang kurasakan pada Gus Dur waktu itu. Setelah kebencianku pada Gus Dur meremuk, hatiku terus melengking meneriakan namanya, “Bagaimana aku bisa menemuimu, Gus? Mencium tanganmu, itu saja yang kuinginkan.”

Berbagai cara kutempuh, tapi jasadku tak juga sanggup menggapai Gus Dur. Akhirnya, kuputuskan setiap sebelum tidur mengirim al-Fatihah untuk Kyai itu. Berharap dalam mimpi, dia mau menemuiku. Ya, biarkan alam mimpi yang mempertemukan kami berdua. Tak banyak yang kuinginkan, hanya mencium tangan dan meminta maaf atas setiap cacianku padanya.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, Gus Dur tak juga menjelang dalam mimpiku, padahal kangenku sudah tak tertahankan. Akan tetapi, di hari ke 94 semenjak kuawali mengirim surat al-Fatihah, Gus Dur akhirnya tiba dalam mimpi. Dan pada tulisan ini, ingin kuceritakan kembali apa yang terjadi.
Tanpa didampingi siapa pun, Gus Dur dan aku bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik dan sarung membungkus tubuhnya, peci yang miring serta kacamata tebalnya melengkapi kediriannya. Dialog yang bagiku aneh pun terjadi. Aneh karena perbincangan kami kesana kemari, tak jelas arahnya.
Gus Dur :
“Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.!”
Mughni :
“Iya, Gus. Tapi..”
Gus Dur :
“Bagaimana tidak repot, hidupmu terlalu banyak ‘tapi’.!”
Mughni :
“Hehehehe..”
Gus Dur :
“Apa kamu kenal Wa Totoh? Maksud saya KH. Totoh Ghozali.”
Mughni :
“Disebut kenal ya tidak, tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio.”
Gus Dur :
“Belajarlah kamu kepadanya, bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa lokal sebagai senjatanya, memakai humor cerdas tanpa hina dan caci.”
Mughni :
“Baik, Gus, kalau itu perintah Panjenengan.”
Gus Dur :
“Ini bukan perintah, ini memang sesuatu yang seharusnya kamu lakukan sebagai Da’I.”
Mughni :
“Laksanakan.”
Gus Dur :
“Kamu suka menulis?”
Mughni :
“Tidak, Gus, tulisan saya buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek, tapi benar-benar buruk hasilnya.”
Gus Dur :
“Rupanya kamu belum pernah dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus.”
Mughni :
“Lha, Panjenengan tau darimana kalau saya belum pernah dilukai wanita?”
Gus Dur :
“Ya itu tadi, karya sastramu buruk sekali.”
Mughni :
“Hmmmmm..”
Gus Dur :
“Kamu pernah pesantren?”
Mughni :
“Pernah, Gus.”
Gus Dur :
“Dimana?”
Mughni :
“Di Al-Falah sama di Al-Musaddadiyah.”
Gus Dur :
“Rupanya kamu Santri Kyai Syahid sama Kyai Musaddad.”
Mughni :
“Iya.”
Gus Dur :
“Saya juga sering bersilaturahmi ke beliau-beliau itu. Mereka salah satu penjaga Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.”
Mughni :
“Ketika jadi Santri, saya nakal sekali. Saya merasa malu kepada beliau-beliau itu, Gus.”
Gus Dur :
“Saya beritahu kamu, kebaikan seorang Santri tidak dilihat ketika dia berada di Pondok, melainkan setelah dia menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini, bahwa kamu adalah santri yang baik.”
Mughni :
“Terima kasih, Gus.”
Gus Dur :
“Dunia tanpa pesantren, bagi saya adalah siksa. Bersyukurlah karena kamu pernah menjadi bagian di dalamnya.”
Mughni :
“Iya, Gus.”
Gus Dur :
“Kamu mau tau rahasia hidup saya dalam memandang segala sesuatunya?”
Mughni :
“Tentu, Gus, saya ingin tau rahasia panjenengan.”
Gus Dur :
“Dalam memandang segala sesuatu, gunakanlah ‘mata’ Allah.”
Mughni :
“Waduh. Bagaimana contohnya?”
Gus Dur :
“Contohnya begini. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima semuanya dengan lapang dada. Karena apa? Saya selalu yakin, Allah lah yang menggerakan hati mereka untuk datang kepada saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi kemanusiaannya.”
Mughni :
“Duh..”
Gus Dur :
“Lebih jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca al-Qur’an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi al-Qur’an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”
Mughni :
“Ya Allah..”
Sebelum dialog itu berlanjut, kawanku membangunkan untuk mengajak kuliah. Ketika bangun tidur, perutku lapar sekali. Mungkin karena dalam mimpi, aku dan Gus Dur tak makan dan minum di warung nasi itu, tapi hanya berbincang.

Sumber : Sanghyang Mughni Pancaniti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar