SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Kamis, 15 September 2016

SYEKH IBRAHIM ASMARAQANDI,GESIKREJO PALANG TUBAN

Syeikh Ibrahim Asmaraqandi Palang Tuban
Syekh Ibrahim Asmaraqandi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Syekh Ibrahim Asmaraqandi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh kedua abad ke-14. Babad Tanah Jawi menyebut namanya dengan sebutan Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro. Sebutan itu mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi Asmaraqandi. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmaraqandi adalah putera Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tyulen, kepulauan kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia arah barat Laut Samarkand.

Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmaraqandi acapkali disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga menimbulkan kerumitan dalam menelaah kisah hidup dan asal-usul beserta silsilah keluarganya, yang sering berujung pada penafian keberadaan Syekh Ibrahim Asmaraqandi sebagai tokoh sejarah. Padahal, situs makam dan gapura serta mihrab masjid yang berada dalam lindungan dinas purbakala menunjuk lokasi dan era yang beda dengan situs makam Maulana Malik Ibrahim.
 
Dalam Babad Ngampeldenta,Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon dituturkan bahwa sewaktu Syekh Ibrahim Asmaraqandi/Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa. Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmoro beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel. 

Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmaraqandi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel.

Menurut urutan kronologi waktu, Syekh Ibrahim Asmaraqandi diperkirakan datang ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua orang putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah kerabat,dengan tujuan menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya,yaitu Dewi Darawati. Sebelum ke Jawa,rombongan Syekh Ibrahim Asmaraqandi singgah dulu ke Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati Palembang,Arya Damar. 
Setelah berhasil mengislamkan Adipati Palembang, Arya Damar (yang namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan keluarganya,Syekh Ibrahim Asmaraqandi beserta putera dan kemenakannya melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa.Rombongan mendarat di sebelah timur bandar Tuban,yang disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).

Pendaratan Syekh Ibrahim Asmaraqandi di Gesik dewasa itu dapat dipahami sebagai suatu sikap kehati-hatian seorang penyebar dakwah Islam. Mengingat Bandar Tuban saat itu adalah bandar pelabuhan utama Majapahit. Itu sebabnya Syekh Ibrahim Asmaraqandi beserta rombongan tinggal agak jauh di sebelah timur pelabuhan Tuban,yaitu di Gesik untuk berdakwah menyebarkan kebenaran Islam kepada penduduk sekitar. 
Sebuah kitab tulisan tangan yang dikenal di kalangan pesantren dengan nama Usui Nem Bis,yaitu sejilid kitab berisi enam kitab dengan enam bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Itu berarti, sambil berdakwah menyiarkan agama Islam,Syekh Ibrahim Asmaraqandi juga menyusun sebuah kitab.

Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikisahkan tidak lama berdakwah di Gesik.Sebelum tujuannya ke ibukota Majapahit terwujud,Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikabarkan meninggal dunia. 
Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai. Karena dianggap penyebar Islam pertama di Gesik dan juga ayah dari tokoh Sunan Ampel, makam Syekh Ibrahim Asmaraqandi dikeramatkan masyarakat dan dikenal dengan sebutan makam Sunan Gagesik atau Sunan Gesik. Dikisahkan bahwa sepeninggal Syekh Ibrahim Asmaraqandi,putera-puteranya Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah beserta kemenakannya, Raden Burereh (Abu Hurairah) beserta beberapa kerabat asal Champa lainnya, melanjutkan perjalanan ke ibukota Majapahit untuk menemui bibi mereka Dewi Darawati yang menikah dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota Majapahit dilakukan dengan mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke Kutaraja Majapahit.

Sumber :
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: TUBAN BUMI WALI: The spirit of harmoni, Tuban: Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban, 2013, hlm.183 – 191(mistikus-sufi.blogspot.com)