DALAM kitab ALHIKAM, Kiai Saleh Darat menulis, salah satu tanda kewalian seseorang secara lahiriah adalah banyaknya umat yang berziarah jika ia telah meninggal dunia. Adapun secara batiniah, seseorang itu mampu menjadi wasilah (perantara) doa umat kepada Allah SWT. Kini, bertahun-tahun setelah wafatnya, dua tengara itu justru melekat pada diri beliau. Setiap 10 Syawal, ribuan orang mengunjungi makam Kiai Saleh Darat di kompleks Pemakaman Umum Bergota, Semarang. Sebagian di antara mereka juga meyakini bahwa ia seorang wasilah. Terlepas dari benar-tidaknya keyakinan itu, jumlah umat yang hadir tak termungkiri menjadi penanda kebesaran namanya.
Setiap tahun bertepatan dengan Haul beliau, umat berdatangan tak hanya dari
Semarang, tetapi juga kota-kota lain di Jawa Tengah seperti Kendal,
Ungaran, Demak, Pati, Purwodadi, Ambarawa, Tegal, Solo, dan Pekalongan dan sekitarnya.
Mereka sudah hadir semenjak pagi, bahkan di antaranya ada yang sengaja
menginap sehari sebelumnya.
Biografi singkat Beliau
Kiai Sholeh Darat lahir di Desa Kedung
Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, sekitar tahun 1820. Dalam
kitab-kitab yang ditulisnya, dia menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad
Shalih bin Umar Alsamarani. Adapun kata ''Darat'' di belakang namanya
adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat di mana dia tinggal,
yakni di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara.
Ayahnya,
KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro
dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah
mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara,
belajar dari satu ulama ke ulama lain.
Tercatat KH Syahid Waturaja
(belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu'in, Minhaj
al-Qawim, dan Syarb al-Khatib). Dia juga belajar kepada KH Muhammad
Saleh Asnawi Kudus (tafsir Aljalalain Alsuyuti, KH Ishaq Damaran (nahwu
dan sharaf), KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (ilmu falaq), KH
Ahmad Bafaqih Balawi (kajian jauharah Attauhid karya Syaikh Ibrahim
Allaqani dan Minhaj Alabidin karya Alghazali) serta KH Abdul Gani Bima
(kitab Almasa'il Assittin karya Abu Al abbas Ahmad Alghani). Belum
merasa cukup, dia diajak ayahnya memperdalam agama di Singapura, sebelum
akhirnya menuju Makkah.
Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama
besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman
Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar
Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa
santri seangkatannya antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi
Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan. Seusai menuntaskan
pendidikannya, beliau mendapat kesempatan mengajar, terutama kepada para
santri yang datang dari Jawa. Satu di antaranya adalah KH Hasyim Asy'ari
yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
Sepulang dari Makkah,
Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya, KH
Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Para
santri berdatangan dari luar daerah, sebagian di antaranya menjadi
ulama terkemuka, antara lain KH Mahfuzd (pendiri Pondok Pessantren
Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris
(pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH Sya'ban (ulama ahli falaq
dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar
(pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak,
Yogyakarta)
Sumber : Telaga ulama.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar