Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba'alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.
Syekh
Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji
Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya
ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama
terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang
mendirikan pengajian pada tahun 1640.
Syekh
Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada
tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di
Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Saat ia mengenal
ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui
karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.
Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka. Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.
Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka. Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.
Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.
Dilanjutkan
ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim
Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya
ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat,
Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat
Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat
Khalwatiyah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang
dialami oleh Syekh Yusuf.
Melihat
jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki
pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu
seperti itu, disebut dalam lontaran versi Gowa berupa ungkapan (dalam
bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).
Cara-cara
hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada
murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat
dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh
kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu
keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah
yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama
yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri
dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.
Ajaran
Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara
moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu
harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna
menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib
hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan
yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.
Hidup,
dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan
antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi
cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan. Dengan
demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan
kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Maha esa sebagai pusat orientasi
dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu
sendiri.
Sumber : telaga ulama.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar