Mengenal KH. Hasan As’ari /Mbah Mangli Yang dikaruniai Karomah Melipat Bumi
Bagi
orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH
Hasan Asy’ari atau yang biasa disebut mbah Mangli hampir semua
orang mengenalnya. Beliau adalah sosok kyai yang sederhana, waro’,
penuh karomah dan wibawa.
Menurut Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan
termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang
hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis
karena rindu kepada Allah.
KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN).
Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau
sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat
mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli
tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat
banyak, hingga berbaris-baris dengan jarak yang cukup jauh. Namun,
masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara
beliau walau tanpa pengeras suara dan jaraknya cukup jauh.
Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli,
namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan:
“Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan
apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi
mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar
saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang
sendiri”
Mbah Mangli dikaruniai karomah “melipat bumi” yakni bisa datang dan
pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain,
beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis
tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud
dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada
rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu
wejangannya adalah: “apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti”
Langgar Linggan
Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi
tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat
banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan
nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk
Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas
tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada
dekade 1960-1970.
Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah
syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih
beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa
Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang.
Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala
itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin (80),
penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin
mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu,
dia mengutus Ahsin dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Namun Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap
di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik
tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah
Mangli.
Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing,
yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah
Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan
kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan
jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu
tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH
Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990,
pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun
belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu
mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli.
Mendoakan
Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan
tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan
petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini
pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan
tokoh-tokoh besar lainnya pada waktu itu.
Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni
tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di
Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun,
Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja,
Cilacap.
Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun
tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan
nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan
nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan
Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan
Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan
ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa
Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan
rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan
lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias
malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid.
Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di
atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti
bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu
mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar
Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap
tidak pernah lebih dari 41 orang.
Pesantren Sederhana di Lereng Gunung
PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik
dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak
terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri
yang memiliki banyak cerita keajaiban.
Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau
lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa
tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di
Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang,Wonosobo,Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara (loud speaker) untuk
berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang
menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang.
Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar (75) warga Mangli sangat
menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir
tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat
dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam
kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam
tersebut.
Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi
markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut
dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks
(MMC).
Wallohu a'lam