SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Kamis, 31 Maret 2016

ULAMA PEWARIS PARA NABI



Hadist ini janganlah di lupakan, Lebih-lebih mau di buang...
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Abu Ad Darda berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”
Hadits ini diriwayatkan oleh :
- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 3641
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2682
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 223
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 21715
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 88
- Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 815
- Imam Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 1231
- Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 342
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1696
Semuanya dari Abu Ad Darda Radhiallahu ‘Anhu

Hadits ini dishahihkan oleh:
- Imam Ibnu Hibban, beliau memasukkannya dalam kita Shahihnya.
- Imam Ibnul Mulqin, dia mengatakan: hadits ini shahih. (Badrul Munir, 7/587)
- Imam Ibnul Jauzi berkata: hadits ini (Ulama adalah pewaris para nabi) diriwayatkan dengan berbagai sanad yang baik. (Ibid, 7/589)
- Syaikh Al Albani di dalam berbagai kitabnya. (Shahihul Jami’ No. 6297, Misykah Al Mashabih No. 212, katanya: hasan. Shahih At Targhib Wat Tarhib No. 70, katanya: hasan lighairih, dll)

Dan didhaifkan oleh:
- Imam Ad Daruquthni mendhaifkannya, disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar:
حَدِيثُ “الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ” أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حبان عن حَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَضَعَّفَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي الْعِلَلِ وَهُوَ مُضْطَرِبُ الْإِسْنَادِ قَالَهُ الْمُنْذِرِيُّ
 
Hadits “ulama adalah pewaris para nabi” diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dari Abu Ad Darda. Didhaifkan oleh Ad Daruquthni dalam Al ‘Ilal, hadits ini isnadnya mudhtharib (guncang), ini dikatakan oleh Al Mundziri. (At Talkhish Al Habir, 3/357).
- Syaikh Husein Salim Asad, dia juga mengatakan isnadnya dhaif. (As Sunan Ad Darimi No. 432, Cet. 1. 1407H. Darul Kitab Al ‘Arabi)... 

Tetapi, yang lebih kuat adalah bahwa hadits ini tidaklah dhaif karena banyaknya jalan yang saling menguatkan satu sama lain.

Berikut keterangan para muhadditsin:
- Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
رواه الحاكم مصححا من حديث أبى الدرداء و حسنه حمزة الكنانى و ضعفه عندهم باضطراب فى سنده ، لكن له شاهد يتقوى بها
 
Diriwayatkan oleh Al Hakim secara shahih, dari hadits Abu Ad Darda, dan dihasankan oleh Hamzah Al Kinani dan ada yang mendhaifkannya bagi mereka hadits ini idhthirab (guncang) dalam sanadnya, tetapi hadits ini memiliki banyak syahid (saksi yang menguatkannya). (Fathul Bari, 1/160)
- Imam Muhammad Thahir bin Ali Al Fatani Rahimahullah berkata:
”العلماء ورثة الأنبياء ” صححه جماعة وضعفه آخرون بالاضطراب في سنده لكن له
شواهد قال شيخنا له طرق يعرف بها إن للحديث أصلا
“Ulama adalah pewaris para nabi”, dishahihkan oleh jamaah ahli hadits, dan didhaifkan oleh yang lainnya dengan menyebutkan adanya idhthirab pada sanadnya, tetapi hadits ini memiliki syawaahid (saksi penguat). Syaikh kami mengatakan bahwa hadits ini memiliki banyak jalan yang dengannya bisa diketahui bahwa hadits ini memiliki dasar. (Tadzkiratul Maudhu’at, Hal. 20)
- Hal senada juga dikatakan oleh Imam As Sakhawi Rahimahullah (Al Maqashid Al Hasanah, 1/459), juga Imam Al ‘Ajluni. (Kasyful Khafa, 2/64)

Bila mana anda penganut sunnah nabi seharusnyalah anda gunakan semua hadist, dan tidak membuang hadist yang tidak mendukung kita. wallohu 'alam © Post Original & Official®
█║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

JIHAD

Semua hal yang bagus dalam urusan agama adalah bentuk sebuah jihad, baik itu menyampaikan sebuah Ilmu maupun mempelajari Ilmu, juga mempebagus sebuah hubungan dengan orang tua. Oleh karena itu berbaktilah engkau kepada orang tua dan janganlah engkau membantah lebih-lebih menyakitkan orang tua. Sebab memulyakan Orang tua adalah bentuk jihad, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah : حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبٍ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ الْقَطَّانَ عَنْ سُفْيَانَ وَشُعْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا حَبِيبٌ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْذِنُهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ حَبِيبٍ سَمِعْتُ أَبَا الْعَبَّاسِ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِهِ قَالَ مُسْلِم أَبُو الْعَبَّاسِ اسْمُهُ السَّائِبُ بْنُ فَرُّوخَ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ بِشْرٍ عَنْ مِسْعَرٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ كِلَاهُمَا عَنْ الْأَعْمَشِ جَمِيعًا عَنْ حَبِيبٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ Dari Abu Al 'Abbas dari 'Abdullah bin 'Amru dia berkata : Seseorang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam minta izin hendak ikut jihad (berperang). Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya : Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Jawab orang itu; Masih! Sabda beliau: Berbakti kepada keduanya adalah jihad.[ HR.muslim No : 4623].

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ أَنَّ نَاعِمًا مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنْ اللَّهِ قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلَاهُمَا قَالَ فَتَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنْ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا Dari Yazid bin Abu Habib bahwa Na'im -budak- Ummu Salamah menceritakan kepadannya, 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia berkata: Aku bai'at (berjanji setia) dengan Anda akan ikut hijrah dan jihad, karena aku mengingini pahala dari Allah. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Jawab orang itu; Bahkan keduanya masih hidup. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya lagi: Apakah kamu mengharapkan pahala dari Allah? Jawabnya; Ya! Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu, lalu berbaktilah pada keduanya dengan sebaik-baiknya.[ HR.muslim No : 4624].

Apalah artinya sebuah tujuan yang mengatasnamakan diri di jalan Allah Azza wajalla, dengan membela di jalan Allah namun di belakang masih terdapat sebuah kegaduhan dengan keluarga, tidak menghiraukan keluarga, dan tidak mau tahu dengan keadaan orang tua di belakang (dirumah), maka semuanya akan sia-sia dan bahkan tindakan seperti itu akan menjadi benalu bagi dirinya sendiri, seperti yang telah terjadi pada masa Rasulullah

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ حَدَّثَنِي سُهَيْلٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُهُ ثَلَاثًا ثُمَّ ذَكَرَ مِثْلَهُ Dari Abu Hurairah dia berkata ; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka! lalu beliau ditanya; Siapakah yang celaka, ya Rasulullah? Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: Barang Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya dengan sebaik-baiknya). Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad dari Sulaiman bin Bilal; Telah menceritakan kepadaku Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Dia celaka, ' sebanyak tiga kali kemudian disebutkan Hadits yang serupa.[ HR.muslim No : 4628].

Orang Tua Lebih Utama

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفٍ الثَّقَفِيُّ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ وَفِي حَدِيثِ قُتَيْبَةَ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِي وَلَمْ يَذْكُرْ النَّاسَ Dari Abu Hurairah berkata; Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia bertanya, Siapakah orang yang paling berhak dengan bakti ku? Jawab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Ibumu! dia bertanya lagi; Kemudian siapa? beliau menjawab: Ibumu! dia bertanya lagi; Kemudian siapa? beliau menjawab: Kemudian Ibumu! dia bertanya lagi; Kemudian siapa? dijawab: Kemudian bapakmu! [HR.muslim No : 4621].

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ عُمَارَةَ وَابْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ وَزَادَ فَقَالَ نَعَمْ وَأَبِيكَ لَتُنَبَّأَنَّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ ح و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ شُبْرُمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي حَدِيثِ وُهَيْبٍ مَنْ أَبَرُّ وَفِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ أَيُّ النَّاسِ أَحَقُّ مِنِّي بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ Dari Abu Hurairah seorang laki-laki seraya berkata; 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak dengan bakti-ku? Beliau menjawab: 'Ibumu, lalu Ibumu, lalu Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian orang yang terdekat denganmu dan seterusnya. [HR.muslim No : 4622]. 
Terdapat keputusan Allah SWT yang digantungkan kepada orang tua, sebaik apapun niat kita apabila tidak menghiraukan orang tua maka Allah pun akan menjadikan cobaan padanya.

Antara kebaikan Dan Dosa

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ Dari An Nawwas bin Mis'an Al Anshari dia berkata; "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang arti kebajikan dan dosa. Sabda beliau: "Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa ialah perbuatan atau tindakan yang menyesakkan dada, dan engkau sendiri benci jika perbuatanmu itu diketahui orang lain."[ HR.muslim No : 4632]. Adapun petunjuk yang kita dapati telah jelas sebagaimana yang telah di sampaikan oleh Rasulullah bahwa antara kebaikan dan kejelekan (dosa) memang telah berbeda. Kebaikan itu adalah bukan dari sudut pandang kita sendiri, namun sebagaimana kita memang hidup di tengah-tengah orang banyak maka kebaikan itu tentu saja ada ikatan dari sisi sosialisasi. Pandangan mereka juga akan menjadi tolak ukur kebaikan yang kita lakukan, tentu kebaikan itu yang tidak terlepas dari garis-garis syari’at. Adapun tindakan yang berdosa kata kata beliau (Nabi SAW) adalah perbuatan yang menyesakkan dada. Yakni membuat ketidak tenangan bagi orang lain, tidak nyaman dan menciptakan suasana mencekam, hal ini adalah sebuah dosa yang nyata. Karena Allah sendiri telah memerintahkan kita untuk berbelas kasih sesama Umat Islam tidak saling menuding ataupun memerangi hanya karena berbeda pendapat, Rasulullah bersabda :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا حَاتِمٌ وَهُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ ابْنُ أَبِي مُزَرِّدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ حَدَّثَنِي عَمِّي أَبُو الْحُبَابِ سَعِيدُ بْنُ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا }

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Setelah Allah Azza wa Jalla menciptakan semua makhluk, maka rahim pun berdiri sambil berkata; 'Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahim (Menyambung silaturahim).' Allah Subhanahu wa Ta'ala menjawab: 'Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu? ' Rahim menjawab; 'Tentu.' Allah berfirman: 'ltulah yang kamu miliki.' Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini: Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad 22-24).[ HR.muslim No : 4634].

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي مُزَرِّدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan lafazh ini milik Abu Bakr. Dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Mu'awiyah bin Muzarrid dari Yazid bin Ruman dari 'Urwah dari 'Aisyah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Rahim (kasih sayang) itu tergantung di 'Arasy, seraya berkata; Siapa menyambungkanku, maka Allah pun akan menyambungkannya. Dan barangsiapa yang memutuskanku, niscaya Allah pun akan memutuskannya pula.[ HR.muslim No : 4635].
Kesimpulan
Terdapat banyak cara untuk melakukan Jihad, berperang membela agama Allah SWT, namun dengan cara yang tidak tepat. Apa yang membuat tidak tepat? Setidaknya terdapat sebuah kesalahan teknis dalam menerapkan Jihad.  Berani angkat senjata, berani berperang namun menentang yang di tetapkan Allah SWT. Firman Allah :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡڪِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ۬ وَلَا تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً۬ ڪَرِيمً۬ا “Dan Tuhanmu telah perintahkan, supaya engkau tidak menyembah melainkan kepadanya semata-mata dan hendaklah engkau berbuat baik kepada ibu bapa. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sekali, sampai kepada umur tua dalam jaga’an dan pelihara’anmu, maka janganlah engkau berkata kepada mereka (sembarang perkataan kasar) sekalipun perkataan “Uf...” dan janganlah engkau meninggikan suara kepada keduanya, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang mulia (yang bersopan santun).“. (QS. Al Isra’: 23).

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَٲلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُ ۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ۬ وَفِصَـٰلُهُ ۥ فِى عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡڪُرۡ لِى وَلِوَٲلِدَيۡكَ إِلَىَّ ٱلۡمَصِيرُ “Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapak-nya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusunya) dan tempo memisahkan susunya ialah dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepadaku (Allah)dan kepada kedua ibu bapak mu ; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan).” (QS. Luqman : 14).

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا “Dan hendaklah kamu beribadah kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapak“. (QS. An Nisa’ : 36).

Berkata Ibnu Abbas : “Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah SWT. : “bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua ibu bapakmu“, Berkata beliau. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua ibu dan bapanya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.”[Al Kabaair Li Adz Dzahabi hal 40]. Bahwa berbakti kepada kedua orang tua ialah amal yang paling utama dan itu bentuk dari sebuah juhad. Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari sahabat Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. “Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal-amal yang paling utama dan dicintai Allah? Nabi SAW menjawab, Pertama shalat tepat waktu (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah” [Hadits Riwayat Bukhari I/134, Muslim No.85, Fathul Baari 2/9].

Wallahu A’lam. © Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

AQIDAH IMAM SYAFI'I

Lebih fokus terhadap Aqidah imam syafi’i. Bagaimana pemahaman beliau tentang sifat-sifat Allah SWT? Atau bagaimana ketauhidan imam syafi’i? Apakah beliau imam Syafi’i membagi tauhid menjadi tiga bagian? Dan apakah imam Syafi’i menetapkan Allah SWT diatas Arsy-nya?. Mari kita membahas secara perlahan masalah pemahaman Imam Syafi’i rohimahullah. Mari kita berangkat dari riwayat hadist berikut : حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِيْ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ شَدَّادٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ مُحْرِزٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَقَلْتُ نَاقَتِيْ بِالْبَابِ، فَأَتَاهُ نَاسٌ مِنْ بَنِيْ تَمِيْمٍ فَقَالَ ‏: اقْبَلُوْا الْبُشْرَى يَا بَنِيْ تَمِيْمٍ‏‏.‏ قَالُوْا : قَدْ بَشَّرْتَنَا فَأَعْطِنَا مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ دَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اقْبَلُوْا الْبُشْرَى يَا أَهْلَ الْيَمَنِ، إِذْ لَمْ يَقْبَلْهَا بَنُوْ تَمِيْمٍ‏‏.‏ قَالُوْا : قَدْ قَبِلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالُوْا : جِئْنَاكَ نَسْأَلُكَ عَنْ هَذَا الأَمْرِ، قَالَ : كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىْءٌ غَيْرُهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ، وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ كُلَّ شَىْءٍ، وَخَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ‏‏،‏ فَنَادَى مُنَادٍ : ذَهَبَتْ نَاقَتُكَ يَا ابْنَ الْحُصَيْنِ‏.‏ فَانْطَلَقْتُ فَإِذَا هِيَ يَقْطَعُ دُوْنَهَا السَّرَابُ، فَوَاللهِ لَوَدِدْتُ أَنِّيْ كُنْتُ تَرَكْتُهَا‏.‏ “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan (Azaly), tidak suatu apapun pada azal selain Dia. Dan adalah arsy-Nya berada di atas air. Kemudian Dia menuliskan di atas adz-Dzikr (al-Lauh al-mahfuzh) segala sesuatu, lalu Dia menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi”. [HR. Al-Bukhari, Al-Muslim, Al-Bayhaqi, Al-Imam Ibn al-Jarud dan lainnya]

Ada penjelasan yang sangat penting terkait dengan hadits ini, sebagai berikut : Kualitas hadits ini Shahih diriwayatkan oleh banyak ahli hadits. Cukup bagi kita tentang ke-shahih-annya bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Mulim dalam kedua kitab Shahih-nya. Bahkan al-Bukhari mengutip hadits ini dari berbagai jalur sanad dari al-A’masy, yang tentunya seluruh jalur sanad tersebut adalah shahih. Al-Imam al-Bukhari sendiri meletakan hadits ini dalam kitab Shahih-nya pada urutan pertama dalam sub judul “Bab tentang kedatangan kaum Asy’ariyyah dan para penduduk Yaman”. Hadits diatas ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu adalah makhluk Allah. Sebelum Allah menciptakan makhluk-makhluk tersebut tidak ada apapun selain-Nya. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada kursi, tidak ada arsy, tidak ada waktu, tidak ada tempat, dan tidak ada apapun, bahwa yang ada hanya Allah saja. Artinya, bahwa hanya Allah yang tidak memiliki permulaan (Azalyy). Dengan demikian hadits ini merupakan bantahan atas kaum filsafat yang mengatakan bahwa alam ini tidak bermula (Qadim). Dan Hadits ini sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena tempat dan arah adalah makhluk Allah. Sebelum menciptakan tempat dan arah Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka demikian pula setelah menciptakan tempat dan arah Allah tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah tidak membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri. Al Imam Al Syafi'i Rahimahullah, beliau berkata: قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه : آمنت بالله وبما جاء عن الله ، على مراد الله ، وآمنت برسول الله ، وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله Aku beriman kepada Allah dan kepada segala yang telah di khabarkan-Nya dengan menyerahkan maksudnya kepada-Nya. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada segala  yang telah diberitakan-nya dengan menyerahkan maksudnya kepada-nya. (menyerahkan ma’na ayat mutasyabihat kepadanya). Berdasarkan uraian dalam kitab beliau menjelaskan tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), 
Imam asy-Syafi’i berkata : إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13) “Ini termasuk ayat mutasyabihat. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki keahlian di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak mempunyai keahlian dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang ini dan semua orang Islam adalah meyakini saja bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah. Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar].
Imam asy-Syafi’i berkata : واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13) “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” [al-Fiqh al-Akbar, h. 13]. إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24) “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 24). 
Oleh karena itu Al-Imam as-Syafi’i mempertegas sebagai berikut : فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِه...َا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ. “Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mengimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga untuk seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat dari kehancuran dan kesesatan” [al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 13]

Wallahu A’lam. © Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

DIMANAKAH SEBENARNYA ALLOH SWT BERADA


 

الإمام البيهقي في كتابه الأسماء والصفات
" استدل أصحابنا في نفي المكان عنهُ _أي عن الله _ بقوله صلى الله عليه وسلم " أنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء ". ثم قال رضي الله عنه : وإذا لم يكن فوقهُ شيء ولا دونهُ شيء لم يكن في مكان

Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan : "Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat". Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut: "Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta'ala ". An-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir.

Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya Al-Washiyyah berkata yang maknanya : "Bahwa penduduk surga melihat Allah ta'ala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi) tanpa (Allah) disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa (Allah) berada di suatu arah"
الدليل على تنزيه الله عن المكان والجهة من الإجماع
إعلم أنّ المسلمين اتفقوا على أن الله تعالى لا يحلُّ في مكان ولا يحويه مكان ولا يسكن السماء ولا يسكن العرش ، لأنّ الله تعالى موجود قبل العرش وقبل السماء وقبل المكان ، ويستحيل على الله التغيّر من حال إلى حال ومن صفة إلى صفة ، فهو تبارك وتعالى كان موجودًا في الأزل بلا مكان ، وبعد أن خلق المكان لا يزال موجودًا بلا مكان . وما سنذكره في هذا الكتاب بمشيئة الله تعالى وعونه وتوفيقه من أقوال في تنزيه الله عن المكان لأعلام ظهروا على مدى أربعة عشر قرنًا من الزمن منذ الصدر الأول أي منذ عهد الصحابة إلى يومنا هذا يُعتَبَر من أقوى الأدلة على رسوخ هذه العقيدة وثبوتها في نفوس المسلمين سلفًا وخلفًا .
ليُعلم أنّ أهل الحديث والفقه والتفسير واللغة والنحو وعلماء الأصول ، وعلماء المذاهب الأربعة من الشافعية والحنفية والمالكية والحنابلة – إلا من لحق منهم بأهل التجسيم – والصوفية الصادقين كلهم على عقيدة تنزيه الله عن المكان ، إلا أن المشبهة ومنهم نفاة التوسل شذّوا عن هذه العقيدة الحقّة فقالوا إنّ الله يسكن فوق العرش بذاته والعياذ بالله تعالى .
1 – وممن نقل إجماع أهل الحق على تنزيه الله عن المكان الشيخ عبد القاهر التميمي البغدادي المتوفـّى سنة 429 هـ ، فقد قال ما نصه 33 : " وأجمعوا – أي أهل السنة والجماعة – على أنه – أي الله – لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان " اهـ
‎2 – وقال الشيخ إمام الحرمين عبد الملك بن عبد الله الجُويني الشافعي المتوفـّى سنة 478 هـ ما نصّه 34 : " ومذهب أهل الحقّ قاطبة أنّ الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيّز والتخصّص بالجهات " اهـ .
3 – وقال المفسّر الشيخ فخر الدين الرازي المتوفـّى سنة 606 هـ ما نصّه 35 : " إنعقد الإجماع على أنه سبحانه ليس معنا بالمكان والجهة والحيّز " اهـ .
4 – وقال الشيخ إسماعيل الشيباني الحنفي المتوفـّى سنة 629 هـ ما نصه 36 : " قال أهل الحقّ : إنّ الله تعالى متعالٍ عن المكان ، غيرُ متمكّن في مكان ، ولا متحيّز إلى جهة خلافًا للكرامية والمجسمة " اهـ .
5 – وقال سيف الدين الآمدي ( 631 هـ ) ما نصه 37 : " وما يُروى عن السلف من ألفاظ يوهم ظاهرها إثبات الجهة والمكان فهو محمول على هذا الذي ذكرنا من امتناعهم عن إجرائها على ظواهرها والإيمان بتنزيلها وتلاوة كل ءاية على ما ذكرنا عنهم ، وبيّن السلف الاختلاف في الألفاظ التي يطلقون فيها ، كل ذلك اختلاف منهم في العبارة ، مع اتفاقهم جميعًا في المعنى أنه تعالى ليس بمتمكن في مكان ولا متحيّز بجهة " اهـ .
وللشيخ ابن جهبل الشافعي ( 733 هـ ) رسالة ألّفها في نفي الجهة ردّ بها على المجسّم الفيلسوف ابن تيمية الحرّاني الذي سفّه عقيدة أهل السنة وطعن بأكابر صحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم كعمر وعلي رضي الله عنهما .
6 – قال ابن جهبل ما نصه 38 : " وها نحن نذكر عقيدة أهل السنة فنقول : عقيدتنا أن الله قديم أزلي ّ ، لا يشبه شيئًا ولا يشبهه شيء ، ليس له جهة ولا مكان " اهـ
‎7 – نقل الشيخ تاج الدين السبكي الشافعي الأشعري ( 771 هـ ) عن الشيخ فخر الدين ابن عساكر أنه قال : " إنّ الله تعالى موجود قبل الخلق ليس له قبل ولا بعد ، ولا فوق ولا تحت ، ولا يمين ولا شمال ، ولا أمام ولا خلف " . ثم قال ابن السبكي بعد أن ذكر هذه العقيدة ما نصه 39 : " هذا ءاخر العقيدة وليس فيها ما ينكره أي سنّي " اهـ .
8 – ووافقه على ذلك الحافظ المحدث صلاح الدين العلائي ( 761 هـ ) أحد أكابر علماء الحديث فقال ما نصه 40 : " وهذه " العقيدة المرشدة " جرى قائلها على المنهاج القويم ، والعَقد المستقيم ، وأصاب فيما نزّه به العليّ العظيم " اهـ .
9 – قال الشيخ محمد ميّارة المالكي ( 1072 هـ ) ما نصه 41 : " أجمع أهل الحقّ قاطبة على أنّ الله تعالى لا جهة له ، فلا فوق ولا تحت ولا يمين ولا شمال ولا أمام ولا خلف " اهـ .
10 – وقال شيخ جامع الأزهر سليم البشري ( 1335 هـ ) ما نصه : " مذهب الفرقة الناجية وما عليه أجمع السنّيون أن الله تعالى منزّه عن مشابهة الحوادث مخالف لها في جميع سمات الحدوث ومن ذلك تنزهه عن الجهة والمكان " اهـ ، ذكره القضاعي في " فرقان القرءان " 42 .
11 – وقال الشيخ يوسف الدجوي المصري ( 1365 هـ ) عضو هيئة كبار العلماء بالأزهر الشريف في مصر ما نصّه 43 : " واعلم أن السلف قائلون باستحالة العلو المكاني عليه تعالى ، خلافًا لبعض الجهلة الذين يخبطون خبط عشواء في هذا المقام ، فإن السلف والخلف متفقان على التنزيه " اهـ .
12 – وقال أيضًا 44 : " هذا إجماع من السلف والخلف " اهـ .
13 – وقال الشيخ سلامة القضاعي العزامي الشافعي ( 1376 هـ ) ما نصه 45 : " أجمع أهل الحق من علماء السلف والخلف على تنزّه الحق – سبحانه – عن الجهة وتقدسه عن المكان " اهـ .
14 – وقال المحدث الشيخ محمد عربي التبان المالكي المدرس بمدرسة الفلاح وبالمسجد المكي ( 1390 هـ ) ما نصه 46 : " اتفق العقلاء من أهل السنة الشافعية والحنفية والمالكية وفضلاء الحنابلة وغيرهم على أن الله تبارك وتعالى منزه عن الجهة والجسمية والحدّ والمكان ومشابهة مخلوقاته " اهـ .
15 – وممن نقل الإجماع على ذلك في مواضع كثيرة من مؤلفاته ودروسه المتكلم على لسان السلف الصالح العلامة الشيخ عبد الله الهرري المعروف بالحبشي وله عناية شديدة بتعليم عقيدة أهل السنة والجماعة للناس فقال ما نصه 47 : " قال أهل الحق نصرهم الله : إن الله سبحانه وتعالى ليس في جهة " اهـ ، فالحمد لله على ذلك .
وقد حذر رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل الأهواء بقوله : " وإنه سيخرج من أمتي أقوامٌ تجارى بهم تلك الأهواء كما يتجارى الكَلَب 48 بصاحبه ، لا يبقى منه عرقٌ ولا مفصلٌ إلا دخله " رواه أبو داود 49 . فالحمد لله الذي جعل لنا من يبيّن عقيدة أهل السنة ويدافع عنها . وتمسك أخي المسلم بهذه العقيدة التي عليها مئات الملايين من المسلمين ، والحمد لله على توفيقه

Hal ini adalah bantahan keras terhadap artikel-artikel yang seperti contoh pada judul "Di manakah Allah SWT Berada? Ini Jawabannya" yang di muat di halaman REPUBLIKA.CO.ID dan artikel-artikel yang sefaham dan semakna dengan catatan itu. Untuk mengetahui Tentang Mutasyabbihat silahkan baca disini

Wallahu A’lam. © Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

Rabu, 30 Maret 2016

GUS-MUH TEGALREJO DALAM KENANGAN


“TEKUN TIRAKAT MERANGKUL KAUM ABANGAN”
Belum lama ini, KH Ahmad Muhammad, akrab disapa Gus Muh, salah seorang kiai pengasuh pondok pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang meninggal dunia. Kiai yang dikenal sangat dekat dengan rakyat berbagai elemen ini meninggalkan duka mendalam. Gus Muh dikenal tekun bertirakat. Sedianya, pada Sabtu (7/3) kemarin, ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo-Magelang hendak menggelar pentas seni. Melibatkan ratusan seniman petani dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh) dalam Orkestra Afalaa Tatafakkaruun bertajuk ‘Dongeng Perubahan’. Tetapi malam sebelumnya, Jumat (6/3) sekitar pukul 23.55 wib, salah seorang kiai pengasuh ponpes tersebut mendadak meninggal dunia. Pentas itu dibatalkan.


Gus Muh meninggal dunia dalam usia 67 tahun pada hari Jumat (6/3/2009) sekitar pukul 23.55 WIB di "Jogja Hospital International" Yogyakarta setelah menjalani perawatan selama tiga hari karena penyakit diabetes dan komplikasi yang dideritanya. Gus Muh yang juga adik pimpinan tertinggi Ponpes API Tegalrejo, K.H. Abdurrahman Chudlori itu meninggalkan seorang istri dan dua anak. Menurut rencana, jenazahnya akan dimakamkan di komplek makam keluarga KH Chudlori, tak jauh dari pesantren A.P.I. Nisannya bersebelahan dengan nisan sang muassis, KH. Chudlori Hari sabtu (7/3/2009) pukul 14.00 WIB. Sampai hari ini, para santri ponpes A.P.I secara bergantian, siang dan malam, mendoakan almarhum di makamnya.

Kepada posmo exclusive, Gus Yusuf (Adik almarhum Gus Muh)menyampaikan rasa kehilangannya atas kepulangan Gus Muh ke rahmatulloh. “Bagi saya, Gus Muh bukan hanya sekedar kakak. Tetapi, juga guru. Beliau banyak mengajarkan bagaimana menghadapi masyarakat kecil atau kaum abangan. Ini lebih sulit daripada mendidik sekelompok orang yang ‘sudah jadi’. Ibarat ngobori dalan peteng, mendidik orang-orang abangan atau yang belum bisa menerima sepenuhnya Islam itu lebih sulit. Kemampuan Gus Muh merangkul masyarakat abangan itu luar biasa.Telaten dan tirakatnya memang kuat. Ibarat awan disrawungi, bengi didolani”, ujar Gus Yusuf.

Sepeninggal Gus Muh, Gus Yusuf berharap dengan segala keterbatasan yang ada, semua ajaran almarhum bisa diuri-uri. Diakuinya, mungkin tidak bisa semaksimal dahulu. “Tetapi pada dasarnya, saya sendiri sudah dekat dengan komunitas kebudayaan. Tidak ada wasiat khusus dari Gus Muh. Kecuali, wasiat terkait keluarga. Dari sebelas bersaudara, semua saling mengisi dan semua tinggal di seputar lokasi ponpes. Untuk memenuhi undangan ceramah di luar ponpes, kalau tidak saya (Gus Yusuf-red), ya KH Abdurahman (Mbah Dur-red)”, jelas Gus Yusuf

API TEGALREJO MAGELANG BERDUKA

Sugeng Tindak" Mbah Dur

Ribuan orang memadati areal pemakaman keluarga untuk memberikan penghormatan terakhir kepada KH Abdurrahman Chudlori (Mbah Dur) di Tegalrejo, Magelang, Jateng, Selasa (25/1/2011). (ANTARA/Anis Efizudin)
Semarang (ANTARA News) - Hujan deras sejak sore mereda begitu malam semakin erat dipeluk gelap. Puluhan orang berdiri di atas bangku mereka, lalu menundukkan kepala, takzim dalam doa, melepas kepergian ulama kharismatis KH Abdurrahman Chudlori yang  lebih akrab dengan panggilan Mbah Dur.

Kepergian pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam, Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin, 24 Januari 2011, pukul 12.45 WIB di Rumah Sakit Lestari Raharja Magelang, telah mereka dengar dari mulut ke mulut dan sms. termasuk yang sangat terpukul dengan kepergian beliau adalah Sutanto Mendut budayawan Magelang .

Pondok pesantren di tepi Jalan Raya Magelang-Kopeng, Salatiga yang dibangun pada 1944 oleh KH Chudlori itu hingga kini mempertahankan tradisi melestarikan berbagai kekuatan budaya pedesaan dan gunung. Almarhum Mbah Dur meneruskan kepemimpinan ponpes dari ayahnya itu sejak 1977.

Baik Mbah Chudlori maupun penerusnya Mbah Dur, kata Sutanto yang selama ini menggerakkan pengembangan kesenian tradisional dan kontemporer desa dan gunung di Magelang, adalah dua ulama berpengaruh bagi kemajuan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan berbasis kekuatan budaya lokal.


"Setiap khataman, ponpes Tegalrejo menggelar pawai kesenian rakyat, dan seniman petani dari desa-desa terlibat bersama para santri. Eksplorasi seni dan budaya malam ini juga kami persembahkan untuk mengenang semangat Mbah Dur," katanya.

Di kompleks Ponpes API Tegalrejo, para pelayat terus berdatangan, arus lalu lintas utama Jalan Raya Magelang-Kopeng telah dialihkan ke jalur alternatif, sementara yang lain menata rangkaian bunga tanda duka yang datang dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerintahan baik lokal maupun nasional. Duka menyelimuti wajah mereka. Lantunan tahlil mengalun dari para santri dan pelayat malam itu, kian membangunkan duka di kompleks ponpes.

Siang harinya, Selasa,25 Januari 2011 suasana cerah muncul, meskipun mendung menggumpal di langit di atas kompleks ponpes yang memiliki sekitar lima ribu santri dari berbagai daerah di Indonesia itu.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Syaifudin, dan sejumlah kepala daerah terutama di eks-Keresidenan Kedu melayat sang kyai kharismatis itu.

Adik kandung Mbah Dur, KH Muhammad Yusuf Chudlori, akrab disapa Gus Yusuf, dengan raut muka berduka, berusaha tetap tegar dan berdiri di teras rumah kakaknya itu untuk menyalami para pelayat. Selama ini, Gus Yusuf yang selalu membawa panji-panji tradisi budaya dan kearifan ini intensif bergaul dengan seniman petani Komunitas Lima Gunung.

Jarum jam sudah menunjuk angka 10.30, sejumlah ulama berpengaruh dari berbagai daerah berjalan beriringan dari rumah duka ke MUSHOLA di ponpes itu, yang jaraknya hanya 100 meter. Di sinilah Mbah Dur disemayamkan. Mereka antara lain KH Idris Marzuki dari Lirboyo Kediri, KH Chalwani dari Purworejo, KH Nurul Huda Jazuli dan KH Zainuddin dari Ploso Kediri, KH Nur Iskandar dari Jakarta, KH Abdul Rozak dari Tegalrandu Magelang, dan KH Hamid Baidlowi dari Lasem Rembang. Masih ada Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah KH Muhammad Adnan dan sekretaris KH Masruri Mughni. Mbah Dur pernah menjabat syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Jenazah Mbah Dur yang terbungkus kain kafan berhiaskan rangkaian bunga berada di atas keranda terbuka berwarna hijau, disemayamkan di sisi barat atau tempat imam memimpin salat di masjid itu. Para pengiring bergiliran salat jenazah selama beberapa saat, sedangkan ratusan ribu umat berdiri di sekeliling masjid di tengah kompleks ponpes dan tepi kanan kiri jalan menuju makam keluarga Chudlori yang jauhnya 300 meter dari ponpes.

Saat sejumlah ulama besar bergantian membacakan tahlil dengan takzim untuk Mbah Dur, tetesan demi tetesan air dari langit tipis turun di tengah terik matahari. Semua pelayat mengangkat kedua tangan tanda, berdoa, begitu para ulama bergantian mendaras tahlil. Semua orang --tua, muda, laki-laki dan perempuan-- meneteskan air mata sebagai tanda duka mereka yang mendalam atas perginya sang ulama besar. Banyak yang berulangkali mengusap air mata yang tak henti membasahi pipi mereka.

Tahlil mengiring perjalanan jenazah dari masjid ponpes ke pemakanan. Gus Yusuf terlihat berjalan tak jauh dari keranda kakaknya yang diusung sejumlah orang, sedangkan anak-anak dan para cucu Mbah Dur, serta keluarga besar Chudlori, berjalan agak di depan mendahului Gus Yusuf. Gerimis berubah agak deras ketika beberapa menit kemudian jenasah memasuki kompleks makam.

Beberapa kiai sepuh turut berjalan kaki mengantarkan Mbah Dur ke peristirahatan terakhirnya, sementara hujan seakan memperkuat ketakziman prosesi pemakaman sang kiai besar tersebut. Gerimis berubah menjadi hujan cukup deras, tepat saat jenazah Mbah Dur dimasukkan ke liang lahat.

Mbah Dur mangkat dengan meninggalkan seorang istri, Nyai Nur Faizah, enam anak yakni Gus Nasrul Arif, Gus Akhmad Izzudin, Kuni Sa`adati, Nur Kholida, Linatun Nafisah, dan Zaimatus Sofia, serta lima cucu.

"Hal utama yang menonjol dari beliau adalah kearifan dan kebijakanannya. Itu muncul karena beliau alim ulama besar. Ulama dengan ilmu dan wawasan luas," kata Lukman kepada ANTARA. Ia mengatakan, Mbah Dur selalu datang membawa solusi bijak untuk berbagai persoalan pelik menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di depan pelayat, KH Abdul Rozak yang mewakili keluarga, mengatakan, kurun waktu Mbah Chudlori dan Mbah Dur memimpin pengasuhan para santri di ponpes itu hampir sama, yakni 33 tahun. Mbah Chudlori 1944-1977 dan Mbah Dur 1977-2011. "Keluarga meminta bantuan doa untuk kepergian Mbah Dur, mohon maafkan segala kesalahan beliau," katanya dalam bahasa Jawa. Selama tujuh hari berturut-turut, para santri dan keluarga akan mendaraskan doa dan tahlil demi perjalanan arwah Mbah Dur ke alam keabadian.

KH Nurul Huda melukiskan Mbah Dur sebagai mutu manikam, seorang kiai enerjik, kreatif, mumpuni, dan multidimensi. "Dia lebih muda dari saya, bisa melayani kiai-kiai sepuh di mana pun, tetapi sudah dipundhut (diambil) Allah SWT. Semua tentu merasakan kehilangan yang luar biasa, tetapi kita sadar bahwa semua milik Allah, harus rela jika dipundhut," katanya.

Ia mengharapkan penerus keluarga Chudlori dan para santri melanjutkan cita-cita Mbah Dur, yang adalah guru kearifan dan kebijakan mereka. "Ambil ilmu dari tutuk (mulut) guru," katanya. Bani Chudlori pada masa mendatang, katanya, harus semakin tangguh dengan meneladani sang guru itu.

Mbah Dur, menurut KH Nurul Huda Disebut memiliki kekuatan tirakat luar biasa dengan disiplin mendidik santrinya melalui tradisi puasa setiap Senin dan Kamis, ziarah kubur para leluhur, dan rajin membaca kitab kuning. 

Sugeng tindak Mbah Dur.  Selamat Jalan Mbah Dur.
"Tegalrejo dan pondok pesantren yang dipimpin Mbah Dur, (adalah) salah satu inspirasi kuat kami selama ini dalam menjalani gerakan kebudayaan dan kemanusiaan"  
(sutanto mendut)

SEKELUMIT SEJARAH PONPES (API) TEGALREJO MAGELANG

Hasil gambar untuk ponpes api tegalrejo magelang

Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH. Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”DAARUSSALAM” Watucongol Muntilan Magelang. 

KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkali-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya Beliau sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guru yang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.

Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”Li i’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang berlumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan antipati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). 

Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang.


Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH. Chudlori merupakan prestasi yang lebih. Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula antipati ada yang berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan KH. Chudhori.


Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun 1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah 36 kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santri-santri termasuk KH.Chudhori mengungsi ke suatu desa yang bernama Tejo kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti.

Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali, sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di tempat semula. Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan, sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.

Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan umat. Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wat-Taalum terpaksa diambil alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch).


Peristiwa yang mengharukan ini terjadi pada penghujung tahun 1977. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila di suatu pondok pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun. Demikian juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bisa kembali meningkat sampai pada tahun 1982 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri.

Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya hingga sekarang, API hanya menerima santri putra. Meskipun usulan dan saran dari berbagai kalangan saling berdatangan, namun belum pernah terpikirkan secara serius untuk mendirikan pondok pesantren putri hingga saat itu. Hal ini dapat dimaklumi karena faktor sarana dan prasarananya kurang mendukung terutama persediaan air bersih dan tanah lokasi. Dan Baru ada Santri Putri pada tahun 2000an.

ALMARHUM (allohu yarhamhu) KH Abdurrahman Wahid. Mantan ketua Tanfidz PBNU dan Presiden RI, tercatat sebagai salah seorang alumni Ponpes tegalrejo

Adapun program pendidikan (salaf) yang diselenggarakan sejak dahulu menggunakan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai di kelas 1 sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu fikih, aqidah, akhlaq, tasawuf dan ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang semuanya dengan kitab berbahasa Arab.

Kitab-kitab yang diajarkan di bidang fikih antara lain safinatun- Najah, fathul Qarib, Minhajul Qowim, Fathul Wahhab, al- Mahalli, Fathul Mu’in, dan Uqdatul-Farid. Di bidang ushul fiqh antara lain Faraidul – Bahiyah. Di bidang tauhid antara lain ‘Aqidatul ‘Awam. Dan dibidang akhlaq / Tasawwuf antara lin kitab Ihya Ulumuddin.

Kelas satu sampai dengan tujuh di PP Tegalrejo, oleh masyarakat lebih dikenal dengan nama kitab yang dipelajari seperti :
Tingkat I dikenal Jurumiyah Jawan
Tingkat II dengan nama Jurumiyah
Tingkat III dengan nama Fathul Qarib/Shorof
Tingkat IV dengan Alfiyah
tingkat V dengan Fathul Wahab
tingkat VI dengan Al Mahalli
tingkat VII dengan Fathul Mu’in/Bukhori
Tingkat VIII dengan Ihya' Ulumuddin.

Kegiatan Ekstrakulikuler
Sejak tahun 1993, PP Tegalrejo juga aktif setiap bulan Ramadhan mengirimkan santri seniornya ke daerah-daerah yang membutuhkan dai/mubaligh. Daerah yang sering mengajukan permintaan antara lain Gunung Kidul, Wonogiri, Bojonegoro, Sragen dan Banyumas. Dilingkungan PP ini juga diselenggarakan Bahtsul masail, yakni pembahasan masalah-masalah yang sedang aktual di tengah-tengah masyarakat.
Kegiatan lainnya adalah Jam’iyatul Quro, yakni membaca Al Qur’an secara bersama-sama. Juga “Khitobah Komplek” yaitu latihan pidato guna bekal santri berdakwah di tengah-tengah masyarakat di kemudian hari saat sudah lulus.

Ada juga pengajian rutin setiap hari Senin di Masjid Jami Al Muhajirin Tegalrejo dan ini dikenal dengan nama acara Pengajian Seninan Yang di hadiri oleh ribuan orang, bukan cuma masyarakat sekitar tegalrejo saja,namun juga ada yang dari magelang dan kota-kota sekitarnya seperti ; Temanggung, Parakan, kebumen, Purworejo, jogja dan sekitarnya. Adapun Untuk Para Alumni Yang Sudah Muqim ada Pertemuan rutin yang digelar setiap 35 hari sekali, yaitu pada malam Ahad Kliwon. Acara ini juga lebih dikenal sebagai acara Selapanan /Alumninan.

Kini setelah wafatnya Almukarrom KH ABDURROHMAN CH dan juga Bapak AHMAD MUHAMMAD CH (GUS MUH), Pesantren API Dipegang oleh adik-adik, para menantu juga para putra-putri "BELIAU BERDUA".

Dan Sekarang Dibawah kepemimpinan KH MUDRIK CH DAN KH CHANIF CH, jumlah santri di Pesantren API Tegalrejo Magelang justru semakin bertambah, sehingga memaksa para Pengasuh menambah ruang lokal baru juga kamar untuk asrama santri yang kini berjumlah tidak kurang dari 5000 santri putra dan 2000 santri putri.

Semoga kedepan API TEGALREJO MAGELANG Tetap eksis dalam mencetak kader-kader militan pengayom masyarakat ketika berkecimpung di dalamnya & makin berkembang kualitas, kuantitasnya serta memberi banyak sumbangsih untuk bangsa, negara juga dinul islam yang rahmatan lil aalamin..

AAMIIN.

KISAH UWAIS AL QARNI, PEMUDA ISTIMEWA DI MATA BELIAU RASULULLOH

“Belum dikatakan berbuat baik kepada Islam, orang yang belum berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya.” Syaikhul Jihad Abdullah Azzam. 

Di Yaman, tinggallah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak. Karena penyakit itu tubuhnya menjadi belang-belang. Walaupun cacat tapi ia adalah pemuda yang saleh dan sangat berbakti kepada ibunya, seorang perempuan wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan.

“Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersamamu. Ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan haji,” pinta sang ibu. Mendengar ucapan sang ibu, Uwais termenung. Perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh, melewati padang tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Lantas bagaimana hal itu dilakukan Uwais yang sangat miskin dan tidak memiliki kendaraan? 

Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seekor anak lembu, kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkin pergi haji naik lembu. Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. “Uwais gila... Uwais gila..” kata orang-orang yang melihat tingkah laku Uwais. Ya, banyak orang yang menganggap aneh apa yang dilakukannya tersebut. 

Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik-turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar pula tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi. 

Setelah 8 bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram, begitu juga otot Uwais yang makin kuat. Ia menjadi bertenaga untuk mengangkat barang. Tahukah sekarang orang-orang, apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari? Ternyata ia sedang latihan untuk menggendong ibunya.

Uwais menggendong Ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya itu. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya. Uwais berjalan tegap menggendong ibunya wukuf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa.

“Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais.

“Bagaimana dengan dosamu?” tanya sang Ibu keheranan.

Uwais menjawab, “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.”

Itulah keinginan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah subhanahu wata’ala pun memberikan karunia untuknya. Uwais seketika itu juga sembuh dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuknya Uwais tersebut? Ituah tanda untuk Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat Rasulullah untuk mengenali Uwais. 

Beliau berdua sengaja mencari di sekitar Ka’bah karena Rasulullah berpesan, “Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kalian berdua, pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman.”

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya, demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan).” (HR Bukhari dan Muslim)

Uwais Al Qarni pergi ke Madinah dan Fenomena ketika Uwais Al Qarni Wafat

Beberapa tahun kemudian, Uwais Al Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin memandikannya. Dan ketika di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang sudah menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya.  

Meninggalnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman.Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni adalah seorang yang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai pengembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.” 

Berita meninggalnya Uwais Al Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah penghuni langit.

Begitulah Uwais Al Qarni, sosok yang sangat berbakti kepada orang tua, dan itu sesuai dengan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).

M. Haromain

Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri;

Berdomisili di Pondok Pesantren Nurun ala Nur Bogangan Utara Wonosobo

Rabu, 23 Maret 2016

HUKUM SELAMATAN ORANG MATI

Hukum Selamatan Hari Ke- 3, 7, 40, 100, Setahun, Dan 1000 Hari


Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambil dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام


Artinya: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut. Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 19 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya: “Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”

SELAMATAN KEMATIAN (KENDURI)

Selamatan Kematian (Kenduri) Menurut Syeikh Nawawi Al-Bantani


Syeikh Nawawi Al-Bantani menerangkan tentang dibolehkannya mengadakan “Selamatan Kematian” di dalam kitab karyanya yang bernama”Nihayatuz Zain” pada halaman 281 (lihat tulisan pada foto kedua dan ketiga dari atas pada baris kalimat pertama s/d keempat ) sebagai berikut: 


Artinya : Mengadakan selamatan kematian dari orang yang masih hidup untuk orang yang sudah meninggal tidak hanya dibatas pada tujuh hari saja, tapi juga bisa dilakukan lebih dari tujuh hari atau kurang dari tujuh hari. Pembatasan hari-hari tersebut merupakan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat, sebagaimana yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Dan, sesungguhnya kebiasaan-kebiasaan tersebut sudah berlaku pada suatu masyarakat berupa mengadakan sedekah kematian pada ketiga hari kematiannya, tujuh hari, dua puluh hari, empat puluh hari, dan seratus hari. Setelah itu diadakan “Haul” pada setiap tahun hari kematiannya, sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Sanbalawini. 

CATATAN : 
1. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan adalah salah seorang guru Syeikh Nawawi Al-Bantani ketika belajar di Mekkah. Sedangkan Syeikh Yusuf Sanbalawini juga termasuk guru beliau ketika belajar di pesantrennya di Purwakarta – Jawa Barat.

BID'AH

Bid’ah Terbagi Menjadi Lima Bagian

Kitab Zaadul Muslim Fiimat Tafaqa (foto: Thobary.com)

Oleh: KH. Thobary Syadzily
Di dalam kitab “Zaadul Muslim fiimat Tafaqa ‘alaihil Bukhori wa Muslim” (Artinya: “Bekal Muslim di dalam Masalah Menerangkan tentang Hadits-hadits Nabi saw yang Sudah Menjadi Kesepakatan atau Konsensus antara Imam Bukhori dan Imam Muslim) karya Sayyid Muhammad Habibullah pada jilid 3 halaman 46-56, cetakan “Darul Fikr”, Beirut Libanon, diterangkan mengenai masalah bid’ ah secara panjang lebar sampai sebelas halaman (lihat tulisan Arab yang ada di foto !), yang bersumber pada hadits (shohih) Nabi saw sebagai berikut: 
  من أحدث فى أمر نا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya : “Barangsiapa membuat perkara baru di dalam agama kami (Islam) yang bukan termasuk dari ajaran Islam, maka perbuatan perkara baru itu tertolak.

Adapun yang dimaksud perbuatan perkara baru di dalam hadits tersebut karena tidak bersumber pada Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas sebagai sumber hukum Islam. Dengan demikian, perbuatan perkara baru tersebut disebut “bid’ah haram atau bid’ah tercela’. Karena, di dalam kitab ini (lihat foto keempat !) diterangkan tentang pembagian bid’ah yang dibagi ke dalam lima bagian, yaitu:
1. Bid’ah wajib, seperti : pembukuan ilmu-ilmu Islam, pembukuan Al-Qur’an pada zaman khalifah Utsman bin Affan r.a. dengan kesepakatan (ijma’) para sahabat Nabi saw, pembukuan ilmu nahwu dan bahasa dengan tujuan untuk memahami al-Quran dan Hadits, dan lain sebaginya.
2. Bid’ah sunnah, seperti : shalat taraweh, mendirikan pesantren, madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, memperbaiki jalan dengan membangun jembatan, mengarang kitab, dan lain sebagainya.
3. Bid’ah mubah, seperti : membuat ayakan tepung, memakai celana panjang, dan lain sebagainya.
4. Bid’ah makruh, seperti: mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa, menghias masjid, dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram, seperti: memungut pajak (tanpa ada kemashlahat agama dan umat), mendahulukan orang-orang bodoh atas ulama, dan lain sebagainya.