Selain full time mengasuh pesantren, Mbah Dur juga figur kyai yang aktif mengayomi dan menjadi panutan masyarakat wilayah Tegalrejo,Bahkan hingga luar daerah juga tak luput dari keikhlasan dakwah beliau dengan jadwal yang padat untuk memberikan pengajian yang otomatis membutuhkan tenaga ekstra guna perjalanan jauh yang harus ditempuh bolak-balik.
Amplop, adalah suatu tradisi yang selalu mewarnai dunia pesantren. Kehadiran seorang Kyai dalam sebuah majelis pengajian hampir pasti selalu disertai dengan disiapkannya amplop bisyaroh (hadiah). Bahkan kedatangan santri alumni atau tamu ke pesantren biasanya membawa amplop bisyaroh untuk diserahkan kepada Kyai.
Amplop, adalah suatu tradisi yang selalu mewarnai dunia pesantren. Kehadiran seorang Kyai dalam sebuah majelis pengajian hampir pasti selalu disertai dengan disiapkannya amplop bisyaroh (hadiah). Bahkan kedatangan santri alumni atau tamu ke pesantren biasanya membawa amplop bisyaroh untuk diserahkan kepada Kyai.
Bagi kebanyakan orang, yang menganggap Kyai adalah sebuah profesi, maka amplop bisyaroh secara mudah di “justifikasi” sebagai (maaf) pendapatan dari profesi itu.
Pada masa Mbah Dur masih sehat, tiap hari rata-rata 2 tempat mengundang beliau untuk mengaji. Namun sampai wafatnya beliau tak pernah tahu dari siapa dan berjumlah berapa biysaroh yang beliau dapatkan.
Setiap mendapatkan amplop bisyaroh, menurut santri yang dekat dengan beliau, Mbah Dur menaruh amplop-amplop itu di dashboard, saku jok bahkan di bawah karpet mobil. Dan dalam waktu yang lama amplop-amplop itu berada di mobil Mbah Dur. Ini bukan karena tidak menghormati pemberian namun menurut beliau untuk mejaga keikhlasan dalam berdakwah. Bahkan ketika amplop bisaroh itu hanya berisi Rp. 600,00 pun beliau tak pernah tahu. Amplop-amplop itu kemudian dikumpulkan oleh santri dekat Mbah Dur ketika akan mencuci mobil, dan memasukkan amplop-amplop itu untuk kepentingan Pesantren. Tak serupiahpun Mbah Dur dan keluarganya menikmati amplop bisyaroh itu, karena Mbah Chudlori sang ayahanda mengharamkan kecuali untuk kepentingan umat atau pesantren.
Begitulah akhlak dan kehati-hatian (wira’i) seorang figur ulama sejati yang mungkin di zaman sekarang jarang dijumpai. Semoga para da’i atau penceramah bisa memetik hikmah sebagai bekal keikhlasan dalam setiap dakwahnya. Aamiin
Oleh: Nasyit Manaf, pernah nyantri di API Tegalrejo – sumber kisah dari Mas Adhang Legowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar